http://www.alinea.id/assets/
Adisoerya memandang, film Indonesia yang didaur ulang berangkat dari harapan agar punya kesuksesan yang sama dengan film sebelumnya. Ada dua ukuran versi Adisoerya untuk melihat kesuksesan ini.
Pertama, dari segi sinematografi. Dari segi sinematografi, kata dia, untuk melihat sejauh mana pembuat film sudah memenuhi unsur-unsur sinematografi yang baik dan benar. Kedua dari segi jumlah penonton. Dari segi ini, digunakan untuk melihat sejauh mana film mampu diterima pasar.
Sementara itu, Ekky mengatakan, kualitas film Indonesia semakin mundur, semakin hari semakin anti-intelektual. Menurut Ekky, film daur ulang bisa dikatakan lebih berhasil ketimbang film sebelumnya dengan melihat dua indikator, yakni keuntungan komersial dan ulasan yang baik.
“Kalau dari segi industri, film itu berhasil mendapatkan sukses secara komersial. Namun, Indonesia kan aneh, enggak ada pendapatan kotor. Kita harus lihat di situs Box Office Mojo kalau mau tahu pendapatan kotor. Kita adanya cuma pendapatan jumlah penonton, enggak ada pendapatan. Kedua, secara review,” kata Ekky.
Terbatasnya informasi mengenai pendapatan kotor sebuah film, menurut Ekky, adalah salah satu trik untuk menghindari pajak. Kata dia, belum ada studio film yang benar-benar terbuka tentang pendapatan kotor mereka ke publik.
Tak berbeda jauh dengan pendapat Ekky, Soleh Solihun menilai, kesuksesan sebuah film yang didaur ulang adalah sukses secara komersial dan kualitas. Dia menjelaskan, setidaknya film daur ulang harus memiliki kualitas yang menyamai film sebelumnya.
“Bahkan, kalau bisa lebih baik, seperti ditunjukkan Joko Anwar dalam Pengabdi Setan (2017). Kualitas dan komersial berjalan beriringan. Filmnya bagus, juga laku,” ujar Soleh.
Memang, publik sudah mengetahui, film Pengabdi Setan (2017), Suzzanna: Beranak dalam Kubur (2018), dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016 dan 2017) sukses mendulang jutaan penonton. Meminjam kata Adisoerya, kesuksesan itu sesuai dengan hitungan dagang.
Berdasarkan data dari situs filmindonesia.or.id, pada 2017 film Pengabdi Setan mencapai 4,2 juta penonton dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menggapai 4 juta penonton. Pada 2018, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur kalah satu strip dari Dilan 1990 sebagai pemuncak peraih jumlah penonton terbanyak. Film yang dibintangi Luna Maya itu meraih 3,3 juta penonton. Sedangkan tahun itu, Keluarga Cemara bertengger di puncak penonton terbanyak, dengan 1,4 juta penonton.
Bagi Adisoerya, yang dilihat dari pembuat film daur ulang adalah soal kalkulasi jumlah penonton.
“Misalnya, untuk memproduksi sebuah film butuh duit Rp5 miliar, kalau dijual 15.000 berarti butuh 350.000 penonton. Kalau jumlah penonton itu tercapai, berarti dia enggak rugi,” ujarnya.
Adisoerya melanjutkan, di Indonesia film daur ulang adalah jaminan mutu ekonomi. Bila film itu pernah sukses, pembuat film saat ini berharap akan mengulang sukses. “Sehingga, saya (pembuat film) jadi untung,” katanya, diiringi tawa.
Meski begitu, ada pula film daur ulang yang gagal di pasaran. Misalnya, Benyamin Biang Kerok (2018), Hantu Jeruk Purut (2016), Jomblo (2017), dan Bangun Lagi Dong Lupus (2013).
Sementara, Ekky pun tak menampik banyak kontroversi yang membayang-bayangi sebuah film remake. Menurut Ekky, film-film mahakarya Asrul Sani dan Usmar Ismail akan sulit untuk di-remake.
“Karena kalau kita remake, itu bisa jadi merusak ‘kesakralannya’. Dan, siap-siap aja dibandingkan (film yang dahulu dan sekarang),” katanya.
Masalah lainnya yang membayangi film remake, kata Ekky, adalah kontroversi dan hak cipta. “Haknya, itu yang susah. Susah menemukan siapa sih yang punya haknya?” kata Ekky.
Ekky melihat, tujuan para sutradara mendaur ulang film-film lama, selain untuk keuntungan, adalah untuk membuat penghormatan.
“Karena orang itu suka, jadi di-remake. Joko Anwar kan suka film-film B, jadi itu seperti homage atau penghormatan,” ujar Ekky yang mengajar film science di Universitas Bina Nusantara.
Menurut Adisoerya, film daur ulang memiliki potensi melemahkan kreativitas sutradara dalam menggali ide, untuk memproduksi film-film berkualitas. Lanjut dia, daur ulang film akan gagal bila penonton membandingkan dengan film sebelumnya. Senada dengan Soleh, Adisoerya memandang, film daur ulang semestinya lebih bagus.
“Sebab contohnya ada. Kelemahan dan kekuatannya bisa dianalisa,” katanya.
Adisoerya memandang, yang repot hari ini adalah sutradara yang sudah lama malang-melintang di dunia sinema, ingin memunculkan gagasan-gagasan baru, tapi gagal karena selera pasar yang sudah terbentuk. Menurutnya, selera penonton Indonesia tidak pernah berubah dari zaman ke zaman.
Adisoerya berpendapat, mendaur ulang film yang sudah sukses di masa lalu, tujuannya hanya untuk kepentingan industri semata dalam logika ekonomi pasar. Tidak punya unsur edukasi sama sekali.
“Sekarang itu, orang bahas film itu laku enggak filmnya? Lain dari itu, orang enggak mau,” ujar Adisoerya.