alinea interactive report http://www.alinea.id/assets/
alinea interactive report
alinea interactive report

Gulungan pita seluloid film Indonesia dari 1935 hingga 2009 tersimpan rapi di dalam salah satu ruangan gudang arsip kantor Sinematek Indonesia, Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta Selatan. Sinematek Indonesia didirikan pada 1975 oleh dua sutradara kawakan Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani. Lembaga ini merupakan penyimpan arsip film pertama di Asia Tenggara, dan satu-satunya di negeri ini.

Aroma asam pekat menyeruak sebelum masuk ke ruang penyimpanan gulungan-gulungan film itu. Gulungan-gulungan film itu tak semua kondisinya baik. Beberapa ada yang sudah berjamur, dan mengeluarkan aroma asam menyengat.

popcorn

Di dalam gudang tersebut, terdapat film-film lawas, yang belakangan kembali diangkat ke layar lebar. Sebut saja Pengabdi Setan (1980), film-film grup lawak Warkop DKI, Beranak dalam Kubur (1971), Catatan Si Boy (1987), dan lain sebagainya.

Film-film tadi, hadir kembali di bioskop bertahun-tahun kemudian, dalam kemasan, jalan cerita, dan pemeran yang berbeda. Bahkan, judulnya diubah.

Bahkan, ada film yang jarak rilis tahun sebelumnya tak jauh. Misalnya, Jomblo (rilis awal 2006, rilis kembali 2017), Hantu Jeruk Purut (rilis awal 2006, rilis kembali 2016), dan Tusuk Jelangkung (rilis awal 2013, rilis kembali 2018).

Kesuksesan sejumlah film di masa lalu, memang menjadi magnet tersendiri bagi sineas muda untuk mendaur ulangnya. Gelombang film daur ulang pun bak bola salju yang menggelinding, ada setiap tahun.

Awal tahun ini saja, sudah ada dua film daur ulang yang tayang di bioskop, yakni Keluarga Cemara dan Lagi-Lagi Ateng. Keluarga Cemara diangkat dari serial televisi yang sukses pada 1990-an hingga awal 2000-an. Paling gres, ada film PSP: Gaya Mahasiswa yang tayang di bioskop akhir Januari 2019.

Mengangkat ikon tenar masa lalu juga dilakukan sineas muda Indonesia. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) contohnya, yang menghadirkan kembali ikon horor Suzzanna (diperankan Luna Maya) di layar lebar.

Banyak orang mengatakan, sosok Luna Maya sangat mirip dengan almarhum Suzzanna, yang berpulang pada 15 Oktober 2008 lalu. Selain itu, Lagi-Lagi Ateng (2019) pun mengangkat kembali duo pelawak legendaris Indonesia yang menjadi bintang di film komedi era 1970-an, yakni Ateng dan Iskak.

alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report
alinea interactive report

MEMBANGKITKAN IKON JADUL

Pelawak tunggal atau komika Soleh Solihun terlibat dalam pembuatan film Lagi-Lagi Ateng. Tak tanggung-tanggung, dia dibebani peran sebagai Iskak, karib Ateng di panggung hiburan.

Pada Agustus 2018, Soleh diajak asisten produser Anup D. Mirchandani, untuk terlibat di film itu. Produser film ini sendiri adalah Manoj K. Samthani.

“Manoj sudah memiliki rencana untuk membuat film daur ulang dengan mengangkat kembali karakter Ateng dan Iskak, sebelum film Warkop DKI Reborn (2016 dan 2017) dirilis di bioskop,” kata Soleh, saat ditemui di Kafe Gordi HQ, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (17/1).

Soleh menyadari, dirinya ada kecocokan secara visual dengan pelawak Iskak. Tawaran itu langsung disetujui Soleh, karena melibatkan penulis skenario dan sutradara Monty Tiwa.

Menurut mantan jurnalis musik itu, Lagi-Lagi Ateng dibuat sebagai cerita baru. Film ini hanya mengangkat kembali dua karakter pelawak jadul, Ateng dan Iskak, dengan jalan cerita berbeda dari film-film Ateng yang tayang pada 1970-an.

“Pak Manoj bukan mau mendaur ulang film yang lama, tapi mendaur ulang karakternya,” katanya.

alinea interactive report

Berperan sebagai ikon lawak yang dahulu sangat populer, Soleh memiliki tanggung jawab agar serupa dengan Iskak. Maka, dia—bersama Augie Fantinus yang berperan sebagai Ateng—latihan intensif selama sebulan.

Di bawah bimbingan pelawak senior Ribut Mardianto, mereka belajar gestur dan perwatakan karakter. Ribut membantu mereka memaparkan keunikan karakter Ateng dan Iskak.

Meski begitu, Soleh mengaku cukup kesulitan masuk ke dalam karakter Iskak. Terutama, latar belakang Soleh yang orang Sunda, sedangkan Iskak orang Jawa. Atas saran dan pengarahan Ribut, Soleh berusaha menekan dialek Sunda agar tak menonjol.

“Iskak itu orang Jawa. Saya berusaha keras agar logat Sunda tidak keluar, itu paling susah,” ujarnya.

Untungnya, Augie dan Soleh sudah saling mengenal, jadi mudah membangun hubungan komunikasi dalam berperan. Keuntungan lainnya, Soleh sudah menggemari film-film Ateng dan Iskak sejak masa remaja, seperti Ateng Sok Tahu (1976), Ateng the Godfather (1976), dan Ateng Pendekar Aneh (1977). Dia pun cukup sering menirukan cara tertawa melengking Iskak.

“Saya dahulu sering menirukan cara tertawanya. Eh, sekarang dapat peran jadi Iskak,” kata dia.

Selain dari film-film Ateng dan Iskak zaman baheula, Soleh mengenal karakter Iskak dari program televisi Ria Jenaka di TVRI pada 1980-an dan awal 1990-an. Soleh mengatakan, produser menyebut film yang dibintanginya itu sebagai sebuah penghargaan kepada karakter Ateng dan Iskak.

Film Lagi-Lagi Ateng, rupanya memanfaatkan nama besar Ateng sebagai pelawak zaman dahulu, demi menggaet penonton. Sebagai catatan, resep menyematkan nama ikon pelawak di judul film sudah ada sejak dahulu.

Menurut Eddy Suhardy dalam tulisannya “Film Warkop: Segmen Sana Segmen Sini” di buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010), ada dua legenda lawak yang membuat serial film dengan embel-embel nama mereka, yakni Bing Slamet dan Benyamin S.

Bing Slamet misalnya, muncul sebagai pemeran utama dalam film Bing Slamet (1956), Bing Slamet Tukang Betja (1959), Bing Slamet Merantau (1962), Bing Slamet Setan Djalanan (1973), Bing Slamet Sibuk (1973), Bing Slamet Dukung Palsu (1973), dan Bing Slamet Koboi Cengeng (1974).

Lantas, Benyamin S tampil sebagai pemeran utama di film Benyamin Biang Kerok (1972), Jimat Benyamin (1973), Benyamin Brengsek (1973), Benyamin Si Abunawas (1974), Benyamin Spion 025 (1974), Benyamin Koboi Ngungsi (1975), Benyamin Raja Lenong (1975), Benyamin Tukang Ngibul (1975), Traktor Benyamin (1975), dan Benyamin Jatuh Cinta (1976).

Strategi agar film laku, memanfaatkan nama besar sebagai pelawak juga dimanfaatkan Ateng-Iskak. Tak berbeda jauh, kini film yang sudah dipoles ulang pun mengandalkan nama besar atau ikon perfilman yang sudah kadung tenar.

Meski begitu, Kepala Sinematek Indonesia Adisoerya Abdi menilai, eksplorasi aktor-aktor, seperti Reza Rahadian yang berperan sebagai Benyamin S dalam film Benyamin Biang Kerok (2018) dan Augie Fantinus yang berperan sebagai Ateng di Lagi-Lagi Ateng (2019), kurang maksimal.

“Gagal sih enggak. Tapi, ini bukti yang menjawab bahwa Benyamin S enggak ada duanya, Ateng enggak ada duanya, Bing Slamet enggak ada duanya. Ada orisinalitas yang enggak bisa ditiru,” ujar Adisoerya ketika ditemui di kantor Sinematek Indonesia, Jakarta Selatan, Rabu (16/1).

Mantan aktor dan sutradara ini pun menyinggung masalah proses kreatif para aktor. Menurut dia, aktor zaman dahulu punya proses yang panjang untuk bisa terpilih bermain dalam satu peran.

“Kalau sekarang kan gampang. Jalan di mal, cakep, terus ditawari ‘ingin main film enggak?’” katanya, sembari tertawa.

alinea interactive report - film lawas
alinea interactive report

REMAKE, REBOOT, REBORN

Kritikus film Ekky Imanjaya berkomentar tentang pandangannya mengenai film daur ulang. Ditemui di sela-sela kesibukannya dalam Binus Film Week di Universitas Bina Nusantara, Alam Sutera, Tangerang, Jumat (18/1), Ekky mengatakan, tak semua film daur ulang bisa dikatakan sebagai remake.

alinea interactive report

Dalam dunia film, kata Ekky, ada istilah remake, reboot, dan reborn. “Reborn mungkin istilah yang ada di Indonesia aja ya, tempat (negara) lain enggak ada. Tiga-tiganya ada kaitan dengan nostalgia, walaupun beda (secara harfiah),” ujar Ekky.

Menurut Ekky, film remake adalah film dengan cerita yang didaur ulang, baik dengan ketat maupun penafsiran bebas, dan semestanya harus sama. “Contoh film remake, yaitu Pengabdi Setan (1980, di-remake pada 2017) dan Badai Pasti Berlalu (1977, di-remake pada 2007),” kata doktor lulusan University of East Anglia, Norwich, Inggris itu.

Ekky melanjutkan, remake harus ada cerita yang didaur ulang. Sedangkan reboot, ceritanya berbeda sama sekali. Lebih lanjut, dia mengungkapkan, film reboot jalan cerita dan tokohnya tak harus sama, tapi berada di semesta yang sama dengan film sebelumnya.

“Yang jelas ada semestanya, dunia make believe-nya itu. Spider-Man Into the Spider Verse (2018) misalnya, pakemnya Spider-Man tuh sama-sama digigit laba-laba, sama-sama ada Mary Jane, sama-sama di New York. Cuma cerita boleh beda,” katanya.

Sedangkan film reborn yang kini marak di Indonesia, menurut Ekky yang dihidupkan dari film berjenis tersebut adalah bintang filmnya. Film-film reborn, lanjutnya, menjual sosok bintang film beserta seluruh perangkat nostalgia yang melekat pada diri bintang film tersebut.

Tentang film remake pertama di Indonesia, Ekky mengatakan hal tersebut harus dikaji lagi karena pengarsipan di Indonesia sendiri masih lemah dan kacau.

“Tapi dari yang saya tahu, sepertinya Nyai Dasima itu remake pertama berdasarkan katalognya (Katalog Film Indonesia 1926-2007) JB Kristanto. Karena di film-film 1940 ke bawah kan susah dicarinya,” ujar Ekky.

Dari sekian banyak film Indonesia yang pernah ditontonnya, menurut Ekky film remake terbaik adalah Titian Serambut Dibelah Tujuh yang didaur ulang Chaerul Umam pada 1982. Film tersebut pertama kali muncul pada 1959, disutradarai Asrul Sani.

“Chaerul Umam sendiri belum pernah lihat filmnya, hanya berdasarkan skrip saja,” kata Ekky.

alinea interactive report - film lawas

Di sisi lain, Adisoerya menganggap, ramainya sutradara mengangkat ulang film-film yang pernah sukses di masa lalu, tak ada yang istimewa. Menurut dia, film zaman dahulu punya ragam cerita yang menarik, dan orisinal. Film masa sekarang, kata Adisoerya, banyak yang sifatnya hanya pengulangan.

alinea interactive report

“Film Dilan 1990 (2018) adalah pengulangan dari Ada Apa Dengan Cinta (2002), dan seterusnya,” ujar Adisoerya.

Namun, dari pandangan Adisoerya, yang istimewa ialah kemampuan sineas muda menangkap momentum dalam menyajikan film yang pernah sukses, dan kemudian bisa sukses kembali.

Nah, itu harus kita apresiasi, “ katanya.

alinea interactive report
alinea interactive report

HASRAT
KOMERSIAL

alinea interactive report
alinea interactive report

Adisoerya memandang, film Indonesia yang didaur ulang berangkat dari harapan agar punya kesuksesan yang sama dengan film sebelumnya. Ada dua ukuran versi Adisoerya untuk melihat kesuksesan ini.

Pertama, dari segi sinematografi. Dari segi sinematografi, kata dia, untuk melihat sejauh mana pembuat film sudah memenuhi unsur-unsur sinematografi yang baik dan benar. Kedua dari segi jumlah penonton. Dari segi ini, digunakan untuk melihat sejauh mana film mampu diterima pasar.

Sementara itu, Ekky mengatakan, kualitas film Indonesia semakin mundur, semakin hari semakin anti-intelektual. Menurut Ekky, film daur ulang bisa dikatakan lebih berhasil ketimbang film sebelumnya dengan melihat dua indikator, yakni keuntungan komersial dan ulasan yang baik.

“Kalau dari segi industri, film itu berhasil mendapatkan sukses secara komersial. Namun, Indonesia kan aneh, enggak ada pendapatan kotor. Kita harus lihat di situs Box Office Mojo kalau mau tahu pendapatan kotor. Kita adanya cuma pendapatan jumlah penonton, enggak ada pendapatan. Kedua, secara review,” kata Ekky.

Terbatasnya informasi mengenai pendapatan kotor sebuah film, menurut Ekky, adalah salah satu trik untuk menghindari pajak. Kata dia, belum ada studio film yang benar-benar terbuka tentang pendapatan kotor mereka ke publik.

Tak berbeda jauh dengan pendapat Ekky, Soleh Solihun menilai, kesuksesan sebuah film yang didaur ulang adalah sukses secara komersial dan kualitas. Dia menjelaskan, setidaknya film daur ulang harus memiliki kualitas yang menyamai film sebelumnya.

“Bahkan, kalau bisa lebih baik, seperti ditunjukkan Joko Anwar dalam Pengabdi Setan (2017). Kualitas dan komersial berjalan beriringan. Filmnya bagus, juga laku,” ujar Soleh.

Memang, publik sudah mengetahui, film Pengabdi Setan (2017), Suzzanna: Beranak dalam Kubur (2018), dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016 dan 2017) sukses mendulang jutaan penonton. Meminjam kata Adisoerya, kesuksesan itu sesuai dengan hitungan dagang.

Berdasarkan data dari situs filmindonesia.or.id, pada 2017 film Pengabdi Setan mencapai 4,2 juta penonton dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menggapai 4 juta penonton. Pada 2018, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur kalah satu strip dari Dilan 1990 sebagai pemuncak peraih jumlah penonton terbanyak. Film yang dibintangi Luna Maya itu meraih 3,3 juta penonton. Sedangkan tahun itu, Keluarga Cemara bertengger di puncak penonton terbanyak, dengan 1,4 juta penonton.

Bagi Adisoerya, yang dilihat dari pembuat film daur ulang adalah soal kalkulasi jumlah penonton.

“Misalnya, untuk memproduksi sebuah film butuh duit Rp5 miliar, kalau dijual 15.000 berarti butuh 350.000 penonton. Kalau jumlah penonton itu tercapai, berarti dia enggak rugi,” ujarnya.

Adisoerya melanjutkan, di Indonesia film daur ulang adalah jaminan mutu ekonomi. Bila film itu pernah sukses, pembuat film saat ini berharap akan mengulang sukses. “Sehingga, saya (pembuat film) jadi untung,” katanya, diiringi tawa.

Meski begitu, ada pula film daur ulang yang gagal di pasaran. Misalnya, Benyamin Biang Kerok (2018), Hantu Jeruk Purut (2016), Jomblo (2017), dan Bangun Lagi Dong Lupus (2013).

Sementara, Ekky pun tak menampik banyak kontroversi yang membayang-bayangi sebuah film remake. Menurut Ekky, film-film mahakarya Asrul Sani dan Usmar Ismail akan sulit untuk di-remake.

“Karena kalau kita remake, itu bisa jadi merusak ‘kesakralannya’. Dan, siap-siap aja dibandingkan (film yang dahulu dan sekarang),” katanya.

Masalah lainnya yang membayangi film remake, kata Ekky, adalah kontroversi dan hak cipta. “Haknya, itu yang susah. Susah menemukan siapa sih yang punya haknya?” kata Ekky.

Ekky melihat, tujuan para sutradara mendaur ulang film-film lama, selain untuk keuntungan, adalah untuk membuat penghormatan.

“Karena orang itu suka, jadi di-remake. Joko Anwar kan suka film-film B, jadi itu seperti homage atau penghormatan,” ujar Ekky yang mengajar film science di Universitas Bina Nusantara.

Menurut Adisoerya, film daur ulang memiliki potensi melemahkan kreativitas sutradara dalam menggali ide, untuk memproduksi film-film berkualitas. Lanjut dia, daur ulang film akan gagal bila penonton membandingkan dengan film sebelumnya. Senada dengan Soleh, Adisoerya memandang, film daur ulang semestinya lebih bagus.

“Sebab contohnya ada. Kelemahan dan kekuatannya bisa dianalisa,” katanya. 

Adisoerya memandang, yang repot hari ini adalah sutradara yang sudah lama malang-melintang di dunia sinema, ingin memunculkan gagasan-gagasan baru, tapi gagal karena selera pasar yang sudah terbentuk. Menurutnya, selera penonton Indonesia tidak pernah berubah dari zaman ke zaman.

Adisoerya berpendapat, mendaur ulang film yang sudah sukses di masa lalu, tujuannya hanya untuk kepentingan industri semata dalam logika ekonomi pasar. Tidak punya unsur edukasi sama sekali.

“Sekarang itu, orang bahas film itu laku enggak filmnya? Lain dari itu, orang enggak mau,” ujar Adisoerya.

alinea interactive report
alinea interactive report alinea interactive report
alinea interactive report