Tokopedia bukan Roma, tetapi proses membangun aplikasi marketplace ini tidak ubahnya dengan menciptakan suatu peradaban besar di sebuah kota. Perjalanan panjang telah ditempuh oleh kedua penggagasnya, William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison.
Dari sebuah kamar kos kecil di bilangan Jakarta, William memikirkan kemungkinan bisnis untuk dapat menempatkan etalase toko besar di awan digital. Ide itu muncul pada 2007, ketika William membaca sebuah artikel di majalah The Economist dengan judul ‘Bright Lights, Big Cities’.
Artikel ini mengupas persoalan klasik yang dihadapi hampir semua kota besar di Indonesia, yakni urbanisasi. The Economist meramal, pada 2030 nanti kota-kota besar termasuk Jakarta akan semakin gendut dan terseok-seok menggendong warganya.
Cerita soal ‘ibu kota lebih kejam dari ibu tiri’ seakan tak pernah membuat para perantau gentar untuk datang ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya.
“Urbanisasi ini adalah lingkaran setan yang perlu diselesaikan,” tulis William saat mengenang riuh-rendah perjalanannya membangun Tokopedia.
Dari cita-cita besar itu, muncullah ide untuk membangun suatu ‘peradaban baru’ dalam etalase digital yang memungkinkan setiap orang punya kesempatan yang sama untuk berusaha tanpa perlu datang ke Jakarta. Cita-cita itu kemudian semakin kuat ketika William mudik ke kampung halamannya di Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Di sana, ia melihat harga-harga barang di pasar tradisional jauh lebih mahal dibandingkan di Jakarta. Memang, masalah distribusi dan ketidaksetaraan harga bahan pokok kala itu menyebabkan harga-harga di sejumlah daerah jauh lebih mahal dibandingkan Ibu Kota.
Keberhasilan perusahaan digital besar seperti Google dan Facebook semakin meyakinkan William untuk membangun Tokopedia. Tetapi seperti halnya anak-anak muda lain yang selalu punya mimpi besar, tanpa kemampuan finansial, upaya William pun harus terbentur masalah permodalan.
Selama dua tahun pada 2007 sampai 2009, William berupaya meyakinkan investor untuk memberikan permodalan akan idenya, namun gagal. Mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi dan lagi, tetapi gagal lagi dan lagi.
“Terbentur, terbentur, terbentuk,” seperti halnya pernah diungkapkan Tan Malaka. Begitulah yang terjadi pada akhirnya. Singkat cerita, pada 2009, William mendapatkan permodalan pertamanya dari PT Indonusa Dwitama senilai Rp2,5 miliar.
Tokopedia pun resmi diluncurkan di tahun yang sama. Hanya ada 70 pedagang yang bergabung dengan Tokopedia kala itu. Tetapi perjalanan belum selesai. Ini hanya titik awal bagi William dan kawan-kawan untuk membuktikan bahwa gagasannya merupakan sebuah ide brilian.
Seiring waktu berjalan, William berhasil membuktikan kata-katanya. Pada 2013, Tokopedia sukses membukukan setidaknya 2 juta penjualan melalui platformnya. Kepercayaan yang dibayar tuntas itu pun akhirnya membawa Tokopedia ke titik yang jauh lebih tinggi.
Hasilnya, pada 2014, Tokopedia kembali memperoleh pendanaan dari SoftBank Internet and Media Inc. (SIMI) dan Sequoia Capital dengan nilai mencapai Rp1,2 triliun.
“Pendanaan ini juga menjadikan Tokopedia perusahaan pertama di Asia Tenggara yang mendapat pendanaan US$100 juta dari SoftBank dan Sequoia,” ungkap William.