Padahal, lanjut dia, dalam Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, hak-hak bagi difabel laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Tidak hanya itu, dalam pasal 53 UU tersebut, disebutkan pula perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai dan 2% dari jumlah pegawai bagi perusahaan BUMN.
Sebagai subjek di dalam dunia kerja, perempuan difabel juga harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, sama dengan difabel laki-laki. “Kami (Kementerian Ketenagakerjaan) masih terus berupaya untuk menyelenggarakan program-program pembangunan ketenagakerjaan, agar nantinya dapat semakin inklusif, termasuk juga bagi pekerja perempuan,” lanjut Hindun.
Perlindungan bagi perempuan difabel pun sudah seharusnya dilakukan secara berlapis. Sebab, ancaman diskriminasi dan keselamatan kerja yang berpotensi dialami pekerja perempuan penyandang disabilitas pun juga dapat dikatakan lebih banyak ketimbang pekerja laki-laki difabel.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti mengatakan, beberapa ancaman bagi pekerja perempuan difabel di dunia kerja meliputi, tindak diskriminasi berlapis kesetaraan gender, kekerasan dalam bekerja, eksploitasi kerja, hingga kekerasan dan pelecehan seksual.
Kemudian, ada pula pelanggaran-pelanggaran lain yang juga kerap kali dialami pekerja perempuan, seperti misalnya pelanggaran cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, serta cuti keguguran.
“Meskipun aturan cuti ini sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tapi pekerja perempuan yang ingin mengajukan cuti, baik itu cuti haid, melahirkan atau keguguran sering kali masih dipersulit,” tuturnya, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Di sisi lain, permasalahan pekerja perempuan juga tidak jarang hadir dari status kerja yang berupa kontrak dan alih daya. Padahal, dengan status kerja sebagai pekerja kontrak atau alih daya, peluang pemberi kerja untuk tidak memberikan hak-hak pekerja perempuan, termasuk difabel semakin besar.
“Belum lagi, ada tempat-tempat kerja yang membedakan gaji antara pekerja perempuan dan laki-laki. Jadi, gaji pekerja perempuan lebih rendah dari pekerja laki-laki. Gaji difabel perempuan apalagi,” kata Dian.
Untuk mengakhiri bias gender di dunia kerja ini, inklusi jelas perlu ditegakkan. Namun, untuk menciptakan inklusivitas bagi pekerja perempuan dan kaum minoritas, butuh koordinasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakat.
“Pemerintah bisa membuat kebijakan untuk mendorong perjanjian kerja dan pemberian training untuk mengadopsi perspektif gender di dunia kerja. Kemudian untuk perusahaan harus bisa berkomitmen menghapus kekerasan dan menjamin keamanan pekerja perempuan dan minoritas,” usul Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.