Dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/4), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, sepanjang 2018, ada 48 orang divonis hukuman mati di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 39 di antaranya terkait kasus narkotika.
Berulang kali, pemerintah melontarkan narasi “darurat narkoba”. Presiden Joko Widodo pun kerap mendukung hukuman tembak bagi pengedar narkotika. Misalnya ketika ia berbicara di depan ratusan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ancol, Jakarta Utara, pada 21 Juli 2017.
Pernyataan keras Presiden merespons ucapan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, yang mengaku punya data 5 juta pengguna narkotika di Indonesia, dengan angka kematian 50 orang per hari. Jokowi pun memberikan jalan terbuka untuk eksekusi mati para pengedar narkotika.
Tak main-main, usai reformasi, pemerintahan Jokowi paling banyak mengeksekusi mati pelaku kejahatan narkotika. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, sepanjang tahun 2015-2016 ada 18 orang meregang nyawa di hadapan regu tembak.
Hukuman mati dilakukan dua gelombang. Gelombang pertama dilakukan pada 18 Januari 2015, dan mengeksekusi enam terpidana, yakni Rani Andriani (Indonesia), Ang Kiem Soei (Belanda), Daniel Enemuo (Nigeria), Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Namaona Denis (Malawi).
Gelombang kedua eksekusi dilakukan pada 29 April 2015. Awalnya, eksekusi akan dilakukan terhadap 10 terpidana. Namun, atas sejumlah alasan, eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Prancis), tak jadi dilakukan. Delapan terpidana lain yang harus kehilangan nyawa di depan regu tembak, adalah Myuran Sukumaran (Australia), Andrew Chan (Australia), Rodrigo Gularte (Brasil), Zainal Abidin (Indonesia), Raheem Agbage Salami (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria), Martin Anderson (Nigeria), dan Silvester Obiekwe Nwolise (Nigeria).
Indonesia kembali menggelar eksekusi mati untuk pengedar narkotika pada 29 Juli 2016. Saat itu, ada empat orang yang dieksekusi, yakni Freddy Budiman (Indonesia), Michael Titus Igweh (Nigeria), Seck Osmane (Nigeria), dan Humphrey Jefferson Ejike Eleweke (Nigeria).
Deputi Cegah Badan Narkotika Nasional (BNN) Ali Johardi mengatakan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ada tiga perlakuan hukum terkait peredaran narkotika. Bila hanya seorang pemakai, mereka akan direhabilitasi.
Kemudian, untuk pengedar, penyelundup, dan anggota sindikat narkotika, dijatuhi sanksi pidana. Termasuk vonis mati. Terakhir, jika ada seseorang yang menjadi pengguna sekaligus pengedar, ia akan tetap diproses hukum pidana penjara, dan selama proses hukum, ia mendapatkan hak untuk rehabilitasi.
Menurut Ali, hingga akhir 2018, terdakwa kasus narkotika yang sebagian besar warga negara asing, masih mengajukan upaya keringanan hukuman.
“Ada yang mengajukan peninjauan kembali, ada yang mengajukan grasi, dan sebagainya. Proses itu yang membuat mereka menunggu, bahkan ada yang menunggu sampai hitungan tahun,” kata Ali kepada reporter Alinea.id, Kamis (2/5).
Sebagian besar warga negara asing ini merupakan pelaku penyelundupan dan kurir narkotika. Sementara warga negara Indonesia yang terlibat dalam perkara narkotika, biasanya sebagai pengguna sekaligus pengedar.
Ali mengaku, belum pernah meneliti tentang seberapa efektif hukuman mati terhadap peredaran narkotika di Indonesia. Namun, ia berkilah, hukuman mati diberlakukan saja peredaran narkotika tetap tinggi.
“Kita berlakukan hukuman mati saja, para penyelundup narkoba itu masih bertubi-tubi menyelundupkan narkoba ke negara kita. Bayangkan bila tidak diterapkan, mereka bisa makin merajalela,” kata Ali Johardi
Senada dengan Ali, mantan Kepala Humas BNN Slamet Pribadi pun meyakini hukuman mati sangat memberikan pengaruh pada peredaran narkotika. Bila ada pandangan hukuman mati melanggar HAM, menurut Slamet, tak bisa dibenarkan.
“Karena hukuman mati itu diputus oleh pengadilan. Jadi anasir atau elemen bahwa hukuman mati itu melanggar HAM sudah gugur, ketika sudah diputuskan oleh pengadilan,” kata Slamet ketika dihubungi, Jumat (4/5).
Slamet mengatakan, pengedar narkotika justru pelanggar HAM yang sangat berat. Dari seorang pengedar yang menjual satu kilogram narkotika, kata Slamet, akan ada ratusan orang yang menggunakan narkotika.
Dari pengalamannya saat bertugas di BNN, Slamet menyimpulkan, bandar narkotika yang dijatuhi hukuman mati ialah yang menjalani bisnis edar narkotika dalam jumlah besar.
“Bandar yang kena hukuman mati nggak mungkinlah puluhan gram, hitungannya kilogram. Berapa orang yang jadi korban dari pengedaran narkoba itu? Jadi pantas kalau pengedar-pengedar itu dijatuhi hukuman mati,” ujar Slamet.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Bekasi ini mengatakan, dalam KUHP dan Undang-Undang Narkotika, hukuman mati belum dihapus. Artinya, masih sangat relevan hukum positif menerapkan hukuman mati bagi bandar narkotika.
Menurut Slamet, pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menolak hukuman mati untuk kasus narkotika baru akan sadar hukuman mati perlu bila ada orang-orang yang dicintainya kecanduan narkotika. Slamet melanjutkan, mereka akan sadar kalau pengedar dan bandar itu layak dihukum mati jika tahu dampak sosial dan psikologis dari peredaran narkotika terhadap keluarganya.
Slamet menuturkan, Indonesia tidak menganut pandangan dari negara-negara yang menghapus hukuman mati. “Dari DPR, legislatif, yudikatif masih memegang teguh pada hukuman mati. Dan belum ada rencana amandemen Pasal 10 UU KUHAP juga pasal-pasal dalam UU Narkotika,” ujarnya.
Pemberantasan narkoba, kata Slamet, memiliki tujuan memutus mata rantai pengedaran gelap penjualan narkotika, meliputi jalur dari bandar kepada pengedar. “Dengan cara apa? Ya, dengan dihukum seberat-beratnya,” ujarnya.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari mengatakan, hukuman mati terhadap para pelaku kejahatan narkotika tak membuat jera para pengguna dan pengedar narkotika. Indikatornya, penggunaan narkotika semakin hari semakin naik.
Pada kenyataannya, hukuman mati tak membuat jumlah kasus narkotika dan pemakainya menurun. LBH Masyarakat mencatat, pada Juli 2015 ada 4,2 juta pemakai narkotika. Lalu naik menjadi 5,9 juta pada November 2015.
Jumlah kasus yang ditangani BNN pun meningkat. Pada 2013 hanya 165 kasus, pada 2014 terdapat 398 kasus, dan pada 2015 ada 394 kasus.
Senada dengan Iftitah, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan juga mengatakan, hukuman mati tak terbukti memberikan efek jera. Ia justru melihat, eksekusi mati malah menguntungkan sindikat narkotika.
“Karena semakin tinggi risiko jual beli narkotika (yang disebabkan dengan adanya eksekusi), justru meningkatkan harga barang tersebut,” kata Ricky, Jumat (3/5).
Ricky Gunawan mengatakan, saat ini kejaksaan masih sering mengajukan tuntutan pidana mati untuk kasus-kasus narkotika. Hukuman mati untuk terpidana narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam Pasal 114 disebutkan, seseorang bisa dijatuhi hukuman mati ketika terkait dengan penjualan, pembelian, perantara dalam jual dan beli narkotika golongan I (seperti ganja) dengan berat 1 kilogram atau tanaman lebih dari lima batang pohon, atau bukan tanaman (sabu) dengan berat di atas 5 gram.
Ricky mengatakan, berdasarkan pengamatan LBH Masyarakat, vonis hukuman mati untuk kasus narkotika kerap tak mengindahkan prinsip-prinsip pengadilan yang adil.
“Seringkali terdakwa yang berkewarganegaraan asing tidak mendapatkan hak atas penerjemah yang memadai, yang memungkinkan mereka memahami secara utuh proses hukum yang berlangsung,” katanya.
Sedangkan dokumen hukum tertulis, kata dia, mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan, semuanya berbahasa Indonesia. Sangat jarang dokumen yang diterjemahkan sesuai dengan bahasa yang bisa dipahami terdakwa.
“Begitupun ketika berlangsung pemeriksaan di pengadilan. LBH Masyarakat sering sekali menemukan kasus, di mana WNA (warga negara asing) berbahasa Kanton, tapi disediakan penerjemah Bahasa Mandarin,” ujarnya.
Belum lagi masalah perlakuan aparat kepolisian saat menggali informasi dari tersangka. Dalam proses seperti ini, aparat kerap melakukan kekerasan. Selain itu, seringkali proses persidangan hanya berlangsung sekian menit dan terkesan sekadar formalitas.
“Tanpa si terdakwa memahami secara sungguh-sungguh dakwaan yang dituduhkan kepadanya,” ucapnya.
Ricky menegaskan, hukuman mati terhadap terpidana kasus narkotika, tak bisa dibenarkan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup yang dijamin konstitusi negara. Bahkan, kata dia, dijamin dalam Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), yang telah Indonesia ratifikasi.
ICCPR menetapkan, hukuman mati hanya bisa diterapkan pada kejahatan yang sangat serius. “Sementara kejahatan narkotika tak masuk kategori tersebut,” kata Ricky.
Sebenarnya, kata Ricky, dengan telah diratifikasinya konvenan itu, seharusnya mengikat Indonesia secara hukum untuk patuh terhadap ketentuan internasional tersebut.
Di samping itu, Iftitah menuturkan, berdasarkan hasil riset ICJR selama 2017-2018, terdapat banyak hak terpidana hukuman mati yang dilanggar pemerintah.
“Hak-hak terdakwa hukuman mati yang dilanggar, seperti kasusnya direkayasa, disiksa penyidik, tidak mendapat pendampingan hukum yang efektif dan penasihat hukum yang kompeten,” kata Iftitah.
Tak jarang juga terjadi malaadministrasi dalam praktik hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotika. Misalnya, pada April 2015, warga negara Brasil Rodrigo Gularte dieksekusi.
“Padahal, ia mengalami disabilitas psikososial (paranoid skizofrenia dan bipolar). Berdasarkan hukum internasional, eksekusi mati terhadap orang dengan gangguan jiwa tidak dapat dibenarkan,” ujar Ricky.
Akan tetapi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Mukri berkilah, dalam kasus Rodrigo Gularte hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan lain, yang dilakukan oleh terpidana. Pertimbangan itu terkait barang bukti narkotika yang diperoleh.
“Kan memang dalam ketentuannya, kalau barang bukti 40 kilogram hukuman mati,” ujar Mukri saat ditemui di gedung Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (9/5).
Gularte sendiri terlibat dalam kasus penyelundupan 19 kilogram kokain, yang diletakkan dalam papan seluncurnya pada 2004.
Bukan hanya kasus yang menimpa Rodrigo. Pada Juli 2016, Indonesia juga mengeksekusi Humphrey Jefferson Ejike Eleweke alias Doctor. Padahal, ia tengah menunggu keputusan grasi. Eksekusinya pun dilakukan kurang dari 3 x 24 jam.
“Hal itu melanggar UU Grasi,” tutur Ricky.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, tak memberikan batasan waktu pengajuan grasi bagi terpidana mati. Iftitah menerangkan, di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi disebutkan, eksekusi tak bisa dilakukan sebelum ada keputusan presiden tentang grasi.
Selain itu, terpidana mati yang akan dieksekusi wajib mengetahui rencana pelaksanaan eksekusi tiga hari sebelumnya. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964.
Menurut Mukri, setiap terpidana berhak mengajukan grasi. Selain itu, terpidana diberikan kesempatan mengajukan upaya hukum, seperti peninjauan hukum, banding, kasasi, hingga grasi.
Mukri mengakui, seseorang yang sedang mengajukan grasi memang tak bisa dieksekusi. Menurut Mukri, maksimal terpidana mengajukan grasi satu tahun setelah putusan dan satu kali ajukan grasi. Pengajuan grasi memang tak ada batasan waktunya, tergantung presiden.
“Tapi itu mesti dilihat dulu kapan dia mengajukan grasi? Kalau setelah satu tahun ya pasti ditolak,” kata Mukri.
Ricky menerangkan, penegakan hukum narkotika pun masih sering bernuansa rasis terhadap warga negara asing berkulit hitam. Hal ini terlihat dari banyaknya WNA dari Benua Afrika, yang menemui ajal di hadapan regu tembak.
Pada 2008, ada dua dari 10 terpidana mati, yakni Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa. Keduanya berasal dari Nigeria, dan ditembak di kawasan Nirbaya, tak jauh dari Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Lalu, pada 2013 ada eksekusi Adami Wilson, yang juga berkewarganegaraan Nigeria. Kemudian, pada Januari 2015, ada Namaona Denis warga negara Malawi dan Daniel Enemoa warga negara Nigeria, yang harus meninggal dunia ditembus peluru senapan para algojo.
Bukannya menurun, jumlah warga negara asal Afrika yang dieksekusi mati justru bertambah. Pada April 2015, giliran Martin Anderson asal Ghana, dan tiga warga negara Nigeria, yakni Raheem Agbage Salami, Okwudili Oyatanze, dan Silvester Obiekwe Nwolise yang dieksekusi mati.
Pada Juli 2016, ada Humphrey Jefferson dan Michael Titus asal Nigeria, serta Seck Osmane asal Senegal yang dieksekusi. “Data tersebut menunjukkan, adanya kecenderungan yang meningkat di mana eksekusi mati narkotika mengandung bias atau rasisme,” kata Ricky.
Namun, Mukri membantah tudingan rasisme ini. “Tidak. Kita konsisten dengan SOP. Semua pelaku yang kategorinya terlibat sesuai barang buktinya tetap berlaku. Tidak ada rasis, apa kepentingan kita?” ujarnya.
Iftitah Sari mengatakan, organisasinya mendorong pemerintah untuk meninjau ulang hukuman untuk kasus-kasus narkotika. Menurut dia, keberadaan hukuman mati harus direnungkan kembali.
“Kami sempat berunding dengan pemerintah soal Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengenai hukuman mati. Kami akui, menghapuskan hukuman mati memang sulit, ada sebagian masyarakat yang menolak, tak ketemu win-win solution-nya, dan belum ada jalan tengah dari pemerintah untuk mengakomodir hal ini,”
kata perempuan lulusan Leiden University Belanda ini.Iftitah menjelaskan, di draf terakhir RKUHP, hukuman mati menjadi hukuman alternatif. Konsep pidana mati yang dikenal di dalam RKUHP saat ini, memang berbeda dengan konsep hukuman mati yang selama ini digunakan di dalam KUHP ataupun peraturan perundang-undangan nasional.
Pidana mati dalam RKUHP hanya dapat diancam apabila ada alternatif dengan pidana lain. Konsep pidana
mati di dalam RKUHP juga mengenal adanya penundaan pelaksanaan eksekusi mati selama 10
tahun.
”Jika dalam masa 10 tahun tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan
perbuatan terpuji, maka pidana mati dapat berubah menjadi pidana seumur hidup,” tutur
Iftitah.
Namun, Iftitah melihat adanya usulan perubahan rumusan terhadap Pasal 111 ayat 1 RKUHP dari pemerintah, yang menurutnya justru menunjukkan upaya pemerintah untuk menghadirkan pidana mati sebagai pidana alternatif dalam RKUHP dilakukan dengan setengah hati dan tidak jelas arahnya.
Perjalanan menghapus hukuman mati, khususnya untuk terpidana kasus narkotika, tampaknya masih teramat panjang. Kapuspenkum Kejagung Mukri pun mengatakan, tak ada upaya untuk mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup.
“Kita tetap berlakukan per barang bukti. Melihat juga peranan masing-masing terpidana. Kita tetap konsisten melakukan tuntutan sesuai tingkat barang buktinya,” ucap Mukri.