Pada 2020, anggaran Rp699 triliun digunakan untuk pemulihan ekonomi sekaligus untuk penangan pandemi.
Krisis pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, semestinya disikapi dengan kehati-hatian untuk menjaga APBN agar tidak bermasalah. Ironisnya, ketika di tengah krisis ekonomi dan pandemi mendera, APBN yang defisit besar digenjot oleh utang yang luar biasa besar. Tidak ada upaya untuk efisiensi lebih dahulu, tetapi langsung meningkatkan utang untuk membiayai pandemi ini.
"Akibatnya, defisit tidak dapat dielakkan dan masalah ekonomi juga tidak dapat diatasi. Sementara pada saat yang sama penanganan dampak pandemi Covid-19 juga terbengkalai. Padalah tidak ada perbaikan ekonomi tanpa mengatasi pandemi," kata ekonom Indef Didik J Rachbini, dalam webinar, Minggu (1/8).
Pada akhir 2019, ketika DPR dalam proses perancangan, anggaran utang sempat diturunkan menjadi Rp625 triliun dari tahun sebelumnya. Namun mendadak ketika pandemi datang, utang digenjot dari Rp625 triliun menjadi Rp1.222 triliun. Dengan hal itu, tampaknya siapapun presidennya di masa depan, akan kesulitan menambal defisit yang sangat besar.
Dia menjelaskan pada 2020, anggaran Rp699 triliun digunakan untuk pemulihan ekonomi sekaligus untuk penangan pandemi. Hasilnya malah harus menjadi pertanyaan. Di mana, Indonesia menjadi juara dunia angka terpapar Covid-19 yang tidak kunjung selesai. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi tetap saja rendah. Hal itu karena dilakukan hanya sekadar ekspansi, utang digenjot habis-habisan dalam keadaan krisis dan menumbuhkan rente luar biasa besar.
"Padahal pembiayaan anggaran PEN dan pandemi sangat besar. Tetapi kasat mata kita melihat justru hasilnya kebalikan dari anggarannya. Mengapa? Karena sejumlah anggaran yang besar tersebut sangat sedikit untuk kesehatan secara langsung dengan implementasi yang lambat," tutur dia.