Pengimpor asal negara-negara UE khususnya, justru lebih suka membeli produk sawit yang tidak bersertifikasi.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menyatakan, keputusan Uni Eropa (UE) dalam mengeluarkan dan memberlakukan regulasi Deforestation Free Commodities (DR) adalah menyebalkan. Apalagi dalam regulasi tersebut terdapat pasal yang menjelaskan 'high risk' atau berisiko tinggi.
"EUDR itu menyebalkan, karena suka-suka mereka. Apalagi ada kalimat risiko tinggi. Seperti main bola kaki, gawangnya dipindah-pindah mereka. Padahal kita sudah siap-siap menuju ke gawang, eh dipindah lagi gawangnya sesuai keinginan mereka," kata Gulat saat dihubungi Alinea.id, Jumat (17/3).
Menurut Gulat, jika UE teguh dengan regulasi DR yang beralasan antideforestasi, maka untuk bisa lolos pasar Eropa hanya memerlukan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Karena kedua sertifikasi tersebut dianggap sudah memenuhi kriteria antideforestasi.
Sayangnya, UE tetap teguh mewajibkan produsen, pengolah, dan penjual kelapa sawit tujuan ekspor UE untuk memiliki sertifikat DR. Padahal sertifikasi tersebut menurut Gulat sangat menyulitkan, menambah biaya, dan mengada-ada.
"Sertifikasi itu sangat menyulitkan serta menambah biaya sertifikasi dan mengada-ada. Lagian jika 2020 ke atas sebagai cut off year, berarti sawitnya baru belajar berbuah di 2024," tutur Gulat.