"Ini, kan, kritikan ilmiah dari ekonom yang sarat data. Jadi, jawabannya harus matang."
Jawaban Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kritik ekonomi senior Faisal Basri tentang hilirisasi pertambangan yang menguntung China dinilai blunder. Pangkalnya, Kepala Negara dianggap tak bisa membedakan antara pendapatan devisa dari ekspor nikel sebesar Rp510 triliun dengan penerimaan negara dari produk tersebut.
"Ini, kan, dua hal yang berbeda. Devisa masuk kepada investor, sementara penerimaan negara masuk dari pajak, baik PPh badan-PPN maupun bea ekspor, dan lain-lain," ucap anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, dalam keterangannya, Senin (14/8).
"Ini, kan, kritikan ilmiah dari ekonom yang sarat data. Jadi, jawabannya harus matang. Menurut saya, Presiden [Jokowi] blunder," imbuhnya.
Ekonom senior Faisal Basri sebelumnya menyatakan, China diuntungkan program hilirisasi hasil pertambangan yang digalakkan pemerintahan Jokowi. Bahkan, disebut meraup cuan hingga 90%.
Pernyataan itu dibantah Jokowi. Ia menyampaikan, Indonesia mendapatkan sekitar Rp510 triliun berkat hilirisasi. Penerimaan berasal dari PPN, PPh badan, PPh karyawan, royalti, bea ekspor, hingga PNBP.