Perdagangan karbon dilancarkan demi mengurangi pemanasan global sekaligus memberikan keuntungan ekonomi.
Pertemuan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dengan Presiden Cina Xi Jin Ping pada 11 November 2014, barang kali pada awalnya memang hanya ditujukan untuk mengumumkan perjanjian bilateral AS dan Cina. Tujuannya, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditimbulkan oleh kedua negara tersebut saja. Namun, pengumuman ini justru mengetuk niat negara-negara lain untuk turut serta dalam upaya mengurangi penyebab pemanasan global.
Karena itu, setahun setelah pertemuan Obama dan Xi, tepatnya pada 12 Desember 2015, Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang menjadi hasil pertemuan kedua negara itu diadopsi dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Persetujuan ini kemudian dinegosiasikan oleh 195 perwakilan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sampai Juli 2021, Perjanjian Paris telah ditandatangani oleh 197 negara dan diratifikasi oleh 195 negara.
Setiap negara yang telah menandatangani kesepakatan tersebut, diharuskan untuk menentukan target dan langkah-langkah apa saja yang akan mereka lakukan agar suhu bumi tidak naik. Adapun target yang telah disepakati oleh 197 negara adalah membatasi kenaikan temperatur global maksimal 2 derajat celcius di atas temperatur sebelum terjadinya revolusi industri pada abad 18.
Selain itu juga melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5 derajat celcius di atas tingkat tingkat pra industrialisasi. Target yang telah disusun oleh masing-masing negara lantas diterjemahkan ke dalam dokumen yang disebut The Nationality Determined Contributions (NDC).