Gasifikasi adalah mengubah batu bara kalori rendah menjadi DME untuk substitusi atau pengganti LPG.
Pemerintah terus mendorong hilirisasi di sektor tambang khususnya batu bara. Salah satu proyek hilirisasi batu bara adalah gasifikasi, yakni mengubah batu bara kalori rendah menjadi dimetil eter (DME) untuk substitusi atau pengganti liquefied petroleum gas (LPG).
Ekonom Senior Faisal Basri pun angkat bicara mengenai proyek ini. Dia menyebut jika proyek gasifikasi mengubah batu bara menjadi DME adalah melawan kodrat.
Menurutnya, melalui proyek DME ini pemerintah mencoba menyelesaikan masalah LPG yang banyak menelan subsidi dan pemenuhannya didominasi impor. Untuk mengolah batu bara menjadi DME, dia sebut ongkosnya akan sangat mahal.
"Untuk menyelesaikan subsidi LPG pakai DME, DME ini mahal banget melawan kodrat," paparnya dalam Diskusi Media: Krisis Batu Bara Dalam Negeri, Quo Vadis Tata Kelola Batu Bara, Rabu (26/1).
Faisal menjelaskan ongkos yang mahal ini datang dari proses mengolah batu bara yang asalnya hitam dan gosong kemudian akan diolah menjadi gas dalam bentuk DME yang bersih.
"Pasti ongkos produksinya akan amat mahal, dan siap-siap menyisihkan subsidi APBN," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek hilirisasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatera Selatan, pada Senin (24/1).
Pemenuhan LPG saat ini dominan dipenuhi dari impor. Jokowi mengatakan, impor LPG mencapai Rp80-an triliun dari kebutuhan Rp100-an triliun impor.
"Rp80 triliun ini pun harus disubsidi untuk sampai ke masyarakat karena harganya sudah sangat tinggi. Subsidi kira-kira Rp60 triliun hingga Rp70-an triliun," katanya di sela-sela acara, beberapa saat lalu.
Dengan terus-menerus impor LPG, menurutnya, yang diuntungkan adalah negara lain. Lapangan kerja di negara lain pun terbuka, sementara Indonesia hanya impor. Padahal, Indonesia memiliki bahan baku untuk membuat DME, yakni batu bara.
"Kalau dilakukan di sini saja, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero) bisa kurangi subsidi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Rp7 triliun kurang lebih," jelasnya.
Selain itu, Presiden Jokowi menambahkan, akan berdampak pada neraca dagang dan transaksi karena tidak melakukan impor.
"Ini perintah enam tahun, tapi kita sudah berpuluh-puluh tahun nyaman dengan impor memang duduk di zona nyaman enak, rutinitas impor-impor. Negara dirugikan, rakyat dirugikan, enggak terbuka lapangan kerja," tuturnya.