Menurut kalkulasi Faisal, Indonesia hanya menikmati 10% dari nilai tambah hilirisasi nikel. Sisanya yang 90% justru dinikmati China.
Ekonom senior Faisal Basri kembali terlibat debat dengan Presiden Joko Widodo. Debat terjadi bukan dalam forum diskusi atau seminar. Tapi Faisal membantah klaim Presiden Jokowi bahwa hilirisasi nikel memberikan keuntungan yang amat besar bagi Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menjelaskan saat ekspor nikel mentah Indonesia hanya mendapatkan Rp17 triliun. Setelah masuk ke industri atau hilirisasi nilainya melonjak jadi Rp510 triliun. Negara mendapatkan pajak besar dari hilirisasi.
"Bayangkan kalau kita ambil pajak dari Rp17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?" tanya Jokowi kepada media saat di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8) kemarin.
Menurut Faisal Basri, angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Jika berdasarkan data 2014, tulis Faisal dalam faisalbasri.com, Jumat (11/8), nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta kali nilai tukar rupiah saat itu: Rp11,865 per US$.
Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, tulis Faisal, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara Rp413,9 triliun.