Inflasi tinggi menerpa sejumlah negara, termasuk Indonesia namun mitigasi resesi masih minim.
Kondisi perekonomian dunia sedang tak baik-baik saja. Perekonomian yang mulai bangkit dari keterpurukan akibat pandemi harus kembali rebah akibat adanya konflik Rusia-Ukraina. Gelombang inflasi tinggi pun mendera sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.
Inflasi Amerika Serikat (AS) sepanjang Juni bahkan semakin menggila yakni tercatat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) dalam pengumuman Rabu (13/7) lalu. Angka ini juga naik dibanding inflasi Mei yang sebesar 8,3%. Laju inflasi ini menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Selain itu, Rusia yang masih berperang juga mengalami inflasi yang tinggi yakni Juni sebesar 15,9% (yoy). Memang, angka ini menurun dibanding inflasi Mei yang sebesar 17,8%. Invasi Rusia ke Ukraina juga berdampak besar pada negara-negara di kawasan Eropa, akibat terhambatnya arus distribusi yang berujung pada peningkatan laju inflasi.
Pasalnya, kedua negara itu tergolong sebagai pemasok komoditas energi dan pangan utama di kawasan ini. Turki merupakan negara yang paling terdampak. Inflasi di negara ini telah mencapai 78,62% (yoy) pada Juni 2022. Sementara negara kawasan Eropa yang mengalami inflasi tertinggi berikutnya adalah Moldova sebesar 31,83% (yoy), Estonia 21,9% (yoy), Ukraina 21,5% (yoy), Lithuania 21% (yoy), dan Latvia 19,3% (yoy).
Kondisi meningkatnya inflasi yang seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan telah menimbulkan keadaan stagflasi. Kondisi ini bisa menjadi sangat berbahaya bagi perekonomian dunia, utamanya bagi negara-negara berpendapatan menengah dan emerging market termasuk Indonesia.