Aksi boikot produk Israel dan afiliasinya mulai menampakkan hasil, produk lokal harus ambil peluang.
Agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina sejak 7 Oktober kini memasuki hari ke 77. Jumlah korban tewas sudah menembus 20 ribu jiwa. Bahkan World Health Organization (WHO) menyatakan saat ini Gaza Utara sudah tidak memiliki rumah sakit yang berfungsi karena kekurangan bahan bakar, staf, dan pasokan di tengah serangan Israel yang membabi buta.
WHO menambahkan hanya sembilan dari 36 fasilitas kesehatan yang berfungsi di seluruh Gaza, dan semuanya berada di selatan wilayah kantong tersebut. Sayangnya, di tengah meningkatnya jumlah korban tewas, Dewan Keamanan PBB menunda pemungutan suara gencatan senjata sebanyak tiga kali pada minggu ini.
Kondisi Palestina yang kian memprihatinkan membangkitkan simpati masyarakat dunia. Kemarahan atas genosida yang tak kunjung berakhir pun menjadi ‘bahan bakar’ gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Boikot pada produk dan merek Israel dan sekutunya terus menggema di media sosial. Tak jarang aksi boikot di tanah air juga dikritik karena akan merugikan para pekerja.
Akun Instragram @sasetyaningtyas pun menyuarakan aksi boikot dan dampaknya. Meski ada dampak berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saudara-saudara sebangsa, dia mengatakan boikot itu hak konsumen yang dilindungi Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 pasal 4.
“Konsumen memiliki hak memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut berdasarkan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Jadi kita sebagai pembeli punya hak untuk memilih barang apa yang mau kita beli. Sebagai konsumen kita juga punya hak untuk berhenti membeli dengan alasan apapun,” bebernya.