Data inflasi yang dirilis oleh BPS setiap bulannya menuai polemik, seiring mencuatnya kasus manipulasi data.
Data inflasi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulannya menuai polemik karena dituding tidak valid, seiring mencuatnya kasus manipulasi data di sejumlah pemerintah daerah (pemda). Lembaga penyedia data statistik itu harus independen dalam mengolah data.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, seharusnya masalah data bisa didapatkan secara transparan. Caranya dengan memastikan proses bagaimana data itu didapat, diproses, dan hasilnya.
Selain itu juga perlu satu metode yang sama untuk memproses data yang ada. Dia mengutip istilah dalam dunia komputer, yaitu garbage in-garbage out. Artinya, jika data yang masuk merupakan sampah, maka akan menghasilkan data sampah. Atas dasar ini, data BPS dipertanyakan dan perlu didalami lebih lanjut guna menentukan kesahihannya.
“Sebab kalau tidak, maka hasilnya juga tidak dapat dipercaya dan ini hal yang sangat membuat bingung kita semua karena betapapun data inflasi atau deflasi adalah data penting agar kita mengetahui konsumsi daya beli masyarakat karena memang kita suka bertanya-tanya sepertinya kita bagus mengendalikan inflasi karena angkanya bagus, tapi ternyata daya beli di masyarakat yang turun,” katanya kepada Alinea.id, Senin (7/10).
Menurutnya, data terkait inflasi dan deflasi yang diolah BPS harus independen meskipun ada tekanan dari pemda atau pemerintah pusat. Dengan demikian, data yang dihasilkan valid sehingga kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah bisa tepat sasaran.