Dalam analisis Sucofindo, sebanyak 54 pelaku usaha mengajukan klaim pembayaran rafaksi. Namun, hanya Rp474 miliar yang terverifikasi.
Rencana pemerintah membayar tagihan rafaksi minyak goreng (migor) menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dinilai keliru. Sebab, sumber pungutan ekspor yang dikumpulkan organ di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu mestinya dimanfaatkan untuk hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit.
Utang ini muncul lantaran pemerintah berjanji membayar selisih harga penugasan Rp14.000/liter pada 19 Januari 2022 hingga akhir bulan tersebut dengan ongkos produksi Rp17.650/liter memakai uang BPDPKS maksimal 17 hari kerja usai kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi. Namun, hingga kini tidak kunjung terealisasi pembayarannya.
Dalam analisis Sucofindo, lembaga yang ditugaskan, sebanyak 54 pelaku usaha ritel modern maupun usaha tradisional mengajukan klaim pembayaran rafaksi. Hasilnya, hanya Rp474 miliar yang terverifikasi.
Peneliti CORE, Eliza Mardian, menyatakan, target peremajaan sawit yang dilakukan hingga kini masih jauh panggang dari api. Bahkan, tidak mencapai 10% dari target yang dicanangkan. Ada sekitar 5 juta ha kebun sawit yang sudah tidak berproduksi dan perlu segera diremajakan.
"Jika [dana BPDPKS] digunakan untuk membayar utang pemerintah ini, seperti uangnya dipungut dari perusahaan karena mereka ekspor, lalu BPDPKS membayar utang tersebut. Ini sama saja uangnya kembali lagi ke perusahaan karena pemerintah gagal bayar," katanya kepada Alinea.id, Selasa (2/4) malam.