Pembangunan berkelanjutan tidak bisa hanya diwujudkan menggunakan pendanaan konvensional saja.
Pandemi Covid-19 membuat kesenjangan pembiayaan global untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan alias sustainable development goals (SDGs) meningkat dari US$2,5 triliun menjadi US$4,2 triliun. Angka itu merupakan perhitungan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada 2020. Adapun di Indonesia, kesenjangan pembiayaan untuk mencapai SDGs hingga 2030, yang sebelum pagebluk diperkirakan sebesar Rp67.000 triliun, melonjak hampir 70% menjadi Rp122.000 triliun pascapandemi.
Dengan selisih mencapai Rp24.000 triliun, pembangunan berkelanjutan tidak bisa hanya diwujudkan menggunakan pendanaan konvensional saja, melainkan harus didorong dengan pembiayaan alternatif.
Salah satu yang dapat digunakan untuk mengakselerasi pembangunan berkelanjutan adalah blended finance, pendanaan campuran yang dalam proses pemenuhan anggaran pembangunan berkelanjutan melibatkan partisipasi dari pemerintah dan sumber-sumber tambahan, termasuk filantropi dan partisipasi individu.
“Di Indonesia, sumber pembiayaan yang biasa dilakukan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur, baik yang sifatnya konvensional maupun berkelanjutan, itu sering kali terbentur dengan anggaran. Makanya, blended finance menjadi alternatif pembiayaan yang prospektif,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (16/2).
Blended finance di Indonesia sebenarnya telah dijajaki pemerintah sejak 1970-an melalui kemitraan antara pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP). Yaitu dengan Kementerian Keuangan, salah satunya melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pengelola skema pembiayaan ini.