Pembiayaan untuk program ekonomi hijau memang meningkat namun pembiayaan energi kotor belum berkurang.
Pada 2021 lalu, Kementerian Keuangan mengungkapkan, total kebutuhan biaya dalam rangka mitigasi perubahan iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp3.779 triliun. Perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk periode 2020-2030 tersebut dibuat berdasarkan referensi dari peta jalan NDC Mitigasi Indonesia yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020.
Di mana dari referensi itu pemerintah memfokuskan kebutuhan dana pada lima sektor yang dapat berkontribusi banyak untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), di antaranya sektor kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun. Kemudian, sektor industri Rp0,92 triliun, pertanian Rp4,04 triliun, dan pengelolaan limbah Rp181,4 triliun.
Namun, berdasarkan Third Biennial Update Report (BUR) yang diterbitkan 20 Desember 2021 lalu, total dana yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada 2030 membengkak jadi Rp4.002 triliun.
“Biaya pengurangan C02 dari sektor kehutanan mencapai Rp309,1 triliun, sektor energi Rp3.500 triliun, industri Rp0,93 triliun, limbah Rp185,27 triliun, dan sektor pertanian Rp7,23 triliun,” papar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanthi dalam Laporan Akhir Third BUR, dikutip Alinea.id, Senin (13/2).
Sayangnya, di balik kebutuhan pendanaan yang jumbo untuk memitigasi dampak perubahan iklim ini, alokasi pembiayaan ketahanan iklim nasional dinilai masih tertinggal. Hingga saat ini, kebanyakan dana program pembangunan rendah karbon dialokasikan ke sektor energi dan transportasi.