Indonesia memiliki banyak tanaman yang berpotensi untuk dijadikan bahan bakar bersih.
Sejak menandatangani Persetujuan Paris (Paris Agreement) pada 22 April 2016 lalu, Indonesia bersama negara-negara lain telah berkomitmen untuk ikut menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Pada saat itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang mewakili Presiden Joko Widodo pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, menyatakan bahwa Indonesia bertekad untuk bisa menurunkan emisi karbon hingga 29% pada 2030 dan bahkan dapat mencapai 41% jika ada bantuan dari luar negeri. Komitmen ini bahkan telah tercantum dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Setelah lima tahun berlalu, iktikad baik pemerintah untuk menjaga temperatur bumi yang kian memanas tiap harinya.semakin kuat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan Ibu Pertiwi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB terkait Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow dan fokus utama Indonesia saat Presidensi Group of Twenty (G20) 2022 nanti.
“Green energi ini sudah menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan, enggak bisa enggak,” kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, kepada Alinea.id, Sabtu (18/12).
Sayangnya, komitmen tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan target pengurangan emisi nasional, yang mana masih sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan global pada 2030. Pun dengan net-zero emition yang ditargetkan pada 2060 atau lebih cepat. Target tersebut jauh lebih lambat dari apa yang dituliskan dalam paragraf 22 Pakta Iklim Glasgow, dimana negara-negara di dunia didorong untuk mencapai bebas karbon pada 2050.
Namun, terlepas dari berbagai hal tersebut, rasanya pemerintah tetap perlu diapresiasi atas segala upayanya untuk ikut menurunkan tingkat emisi global.