Pengelolaan sampah harus dimulai dari sumbernya untuk menciptakan ekonomi sirkular.
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisarua telah menjadi 'tempat sampah' raksasa bagi warga di sekitarnya. Sampah plastik, sisa makanan, bangkai ayam, hingga sampah rumah tangga seperti tempat tidur, diapers, dan lain sebagainya memenuhi aliran sungai.
Sejak dulu, sungai yang penuh dengan sampah masih menjadi momok tersendiri di Indonesia. Padahal, pemerintah sudah jelas melarang warga untuk membuang limbah mereka ke sungai, salah satunya melalui Pasal 60 dan 104 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Studi Zero Waste Cities menyebut penyebab pembuangan sampah ilegal di badan sungai, antara lain karena 61% sampah tak terlayani jasa pengumpulan yang disediakan pemerintah. Sejauh ini, dari total sampah masyarakat, hanya 32% saja yang mendapat layanan. Dampaknya, masyarakat mengelola sendiri 47% sampah dengan cara dibakar terbuka, bocor ke laut dan danau 9% dan sampah buang ke tanah kosong 5% per tahun.
Sementara itu, Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk ‘Statistik Potensi Desa Indonesia’ menunjukkan bahwa sebanyak 70,50% desa/kelurahan di tanah air membuang sampah ke dalam lubang atau dibakar. Selanjutnya, sebanyak 19,40% desa/kelurahan membuang sampah ke tempat sampah, kemudian diangkut oleh fasilitas pengangkut dari pemerintah.
Lalu, sebanyak 5,82% desa/kelurahan membuang sampah ke sungai atau saluran irigasi, danau dan laut. Berikutnya, 3,90% desa/ kelurahan membuang sampah ke tempat lainnya dan 0,38% membuang sampah ke drainase.
Associate Professor di School of Engineering and Built Environment di Griffith University Sunil Herat bilang, sampai saat ini manajemen limbah memang masih menjadi tantangan tersendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai faktor seperti pertumbuhan populasi dan konsumsi bahan-bahan pokoklah yang menyebabkan limbah padat domestik dan industri kian banyak.