Investor peer to peer (P2P) lending perlu memahami risiko demi meminimalisir kasus gagal bayar.
Sejak hadir di Indonesia pada 2015-2016 silam, financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending telah memberi harapan baru bagi masyarakat yang belum tersentuh layanan kredit perbankan. Di sisi lain, model bisnis yang mempertemukan pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) dalam satu platform ini telah menjadi instrumen investasi alternatif.
Bisnis yang kerap disebut pinjaman online (pinjol) ini juga seringkali kontroversial karena ‘menggulung’ nasabahnya dalam jeratan utang. Lalu, pada pertengahan 2022 silam aroma gagal bayar pada investor atau pemberi pinjaman mulai menyeruak. Sebut saja tiga platform besar yakni Tanifund, Investree, dan Modal Rakyat.
Influencer investasi Felicia Putri Tjiasaka dalam channel Youtube-nya menyebut, Tanifund sebenarnya sangat terkenal dan memiliki konsep bisnis yang unik. Di mana lender akan membiayai petani mulai dari bercocok tanam hingga menjual hasil panen. Sayangnya, platform ini mulai kesulitan mengembalikan dana para lender sejak 2021 silam.
“Ada 128 investor dengan total Rp14 miliar tidak menerima return sejak November 2021, termasuk aku, ada yang macet tapi enggak besar,” sebut content creator ini dalam postingan Youtube berjudul “Kredit Macet Rp5 Triliun di P2P lending” beberapa waktu lalu.
Penyebabnya adalah petani mengalami gagal panen yang berimbas pada gagal bayar. Plus, masalah bisnis yang tidak transparan bahkan fraud dan penyalahgunaan pinjaman di mana dana digunakan untuk keperluan konsumtif keluarga petani.