Sejumlah startup di berbagai sektor mulai berguguran dan PHK menjadi jalan keluar, termasuk pada sektor financial technology (fintech).
Nampaknya 2022 menjadi tahun yang kelam bagi industri startup nasional. Sejak Januari hingga Desember terhitung sudah ada 24 perusahaan rintisan yang tertimpa badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika dikalkulasikan, ada lebih dari 3.800 karyawan yang terkena dampak startup bubble burst ini.
Jika dirinci, PHK telah menghantam berbagai sektor, mulai dari edutech alias education technology (Zenius, Pahamify, Ruangguru, dan Binar Academy), marketplace atau lokapasar (Ula, Sirclo, Shopee Indonesia, dan JD.ID), hingga layanan pembelian dan pengantaran bahan makanan atau e-grocery (Tanihub dan Sayurbox). Selain itu, musim dingin startup pun telah menjalar pula ke sektor startup keuangan atau yang lebih dikenal sebagai teknologi finansial (tekfin) dan startup investasi.
Hal ini terlihat dari PHK yang telah dilakukan pula oleh startup dompet digital LinkAja, perusahaan pertukaran aset digital Tokocrypto, startup payment gateway Xendit, dan platform investasi yang telah menyandang status unikorn, Ajaib. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira bilang, PHK menjadi tak terhindarkan tatkala industri digital dihadapkan pada sejumlah persoalan.
“Mulai dari tekanan makro ekonomi, kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli masyarakat, risiko geopolitik, dan model bisnis yang berubah signifikan. Kemudian rekrutmen yang secara agresif dilakukan di awal, juga menjadi salah satu penyebab sekarang banyak PHK,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (12/12).
Pada mulanya, startup memang menjadi idola bagi para investor, terutama pemberi modal dari luar negeri. Karenanya, banyak startup yang berani merekrut banyak pekerja. Dengan harapan, startup akan mudah mendapatkan pendanaan seiring dengan pesatnya pertumbuhan pengguna ponsel pintar (smartphone), akselerasi teknologi, serta pertumbuhan ekonomi digital di tanah air.