Salah satu yang disoroti adalah SE Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022.
Peralihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi dan pusat pada 2020 menimbulkan persoalan malaadministrasi, seperti penundaan berlarut, diskriminatif, dan tak memberikan pelayanan. Ini merupakan salah satu kesimpulan kajian sistemik tata kelola IUP oleh Ombudsman RI (ORI).
"Pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi dan pusat masih ditemukan tidak memenuhi asas profesional, ketelitian, dan transparansi," ucap anggota Ombudsman, Hery Susanto, saat memaparkan hasil kajian sistemik, Senin (12/12).
Dalam kajian tersebut, Ombudsman mendapati proses pencatatan, administrasi, dan kearsipan tak memadai sehingga sukar mencari dan mengakses data pertambangan di daerah akibat perbedaan standar pelaksanaan pengalihan kewenangan. Selain itu, ditemukan adanya kendala teknis penerapan online single submission (OSS), sistem perizinan terpadu berbasis elektronik.
Hery melanjutkan, dalam kesimpulan kajian, terutama aspek regulasi, Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 15.K/HK.02/MEM.B/2022 soal pembatasan laporan dari segi waktu dan masih aktifnya IUP cenderung bersifat diskriminatif. Sebab, ketentuan membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat 2 tahun sejak pertama kali permohonan perizinan saat IUP berlaku sesuai regulasi, yang tertuang dalam diktum IV huruf b, dinilai tak merujuk ketentuan yang tepat. Ombusman pun menyarankan beleid tersebut direvisi.
"Ombudsman mengacu pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang mengamanatkan laporan masyarakat harus memenuhi persyaratan peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi. Jadi, tidak dibatasi hanya untuk IUP yang masih berlaku," tuturnya.