Sistem beli putus mendorong adanya persaingan dalam pembelian bahan baku tebu petani.
Musim giling tebu telah dimulai sejak akhir Mei lalu. Seharusnya ini menjadi momentum manis bagi petani tebu, semanis rasa tebu yang dipanen. Kenyataannya, musim giling kali ini malah menjadi momen yang pahit bagi mereka.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mencatat rerata harga jual gula di tingkat petani jatuh di level Rp10.200/kilogram (kg) pada Selasa (30/6) silam. Bahkan, di sejumlah daerah harganya jatuh di bawah Rp10.000/kg.
Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi gula petani: Rp12.700/kg. Artinya, petani tombok alias merugi. Meskipun harga jual tersebut masih di atas harga acuan pemerintah di tingkat produsen seperti diatur di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020: Rp9.100/kg.
Penurunan harga gula juga terlihat dari anjloknya harga lelang pembelian gula pasir di PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Harga lelang turun dari Rp10.650/kg pada 12 Juni menjadi Rp10.150/kg pada 22 Juni. Kemudian harga lelang kembali naik menjadi sekitar Rp10.500/kg pada 2 Juli.
Harga gula anjlok karena serbuan gula impor di pasar. Pemerintah memang telah membuka keran impor gula besar-besaran, salah satunya gula kristal putih (GKP) sebesar 150 ribu ton untuk keperluan konsumsi. Impor diberikan kepada Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Masing-masing kebagian impor 50 ribu ton.