Berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia, sejak awal tahun hingga 6 Juli 2018, IHSG rontok hingga -10,40%.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tren terkoreksi sejak awal tahun. Begitu pula dengan nilai tukar Rupiah yang sempat menyentuh level Rp14.500 per US$.
Executive VP Intermediary Business Schroders Investment Management Indonesia, M Renny Raharja menuturkan, bursa saham Indonesia bukan satu-satunya yang rontok akibat kondisi global saat ini, terdampak dari apresiasi dollar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia, sejak awal tahun hingga 6 Juli 2018, IHSG rontok hingga -10,40%. Capaian itu, terburuk nomor dua di Asia Tenggara, terburuk nomor tiga di Asia Pasifik dan terburuk nomor enam di pasar saham dunia. Memang masih ada yang lebih parah lagi dari Indonesia, yakni penurunan indeks Shanghai Composite di China, mencapai -16,31%.
"Yang kena bukan hanya Indonesia, ini dampak dari global pengaruh di negara berkembang," ujar Renny dalam acara edukasi "Peluang, Tantangan dan Strategi Menghadapi Volatilitas Pasar di semester 2," di Jakarta, akhir pekan lalu.
Melihat kondisi itu, Renny memandang bahwa pasar saham saat ini cocok bagi investor jangka panjang. Karena meski menarik secara valuasi dan masih ada risiko volatilitas akibat nilai tukar rupiah yang dipengaruhi global. “Pasar saham kita sangat atraktif, tetapi tidak dipungkiri volatilitas masih ada,” ungkapnya.