CIPS menilai, peraturan terkait impor bawang putih sebaiknya dievaluasi pemberlakuannya
Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan solusi yang tepat dan rasional untuk program swasembada bawang putih. Restriksi atau pembatasan berlebihan pada mekanisme impor menyebabkan harga bawang putih menjadi tinggi. Padahal seharusnya kebijakan ini bisa menstabilkan harga bawang putih yang tinggi di dalam negeri .
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina menjelaskan, peraturan terkait impor bawang putih sebaiknya dievaluasi pemberlakuannya. "Mau dari segi manapun, baik secara on-farm maupun off-farm, Indonesia tidak mampu mengejar swasembada bawang putih," ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/7).
Selain itu, restriksi cenderung hanya sebagai alasan penunjukan importir dan kuota impor bawang putih serta syarat wajib tanam bawang putih sebesar 5% dari total impor. Akibatnya, struktur pasar menjadi tidak kompetitif dan membuka peluang lebar memanipulasi ketersediaan dan harga produksi bawang putih.
"Skema manipulasi harga oleh importir dan rantai distribusi yang panjang, merupakan penyebab utama kerugian yang harus diderita konsumen bawang putih. Belum lagi ditambah kewajiban tanam bawang putih yang dibebankan kepada importir semakin menambah cost of production yang pada akhirnya dibebankan lagi kepada konsumen," ujarnya.
Indonesia menghadapi tantangan swasembada bawang putih. Selain semakin terbatasnya lahan, banyaknya alih fungsi lahan pertanian karena cuaca dan kondisi tanah yang tidak produktif juga ikut memengaruhi. Belum lagi kurangnya insentif untuk petani dalam menanam bawang putih. Hal ini berujung pada kegagalan para importir untuk memenuhi kewajiban mereka terkait menanam bawang putih secara proporsional terhadap jumlah impor.