Sebanyak 2.642 HS Code masuk dalam kategori tata niaga post border. Saat ini, Indonesia memiliki 10.826 HS Code
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo terus menggaungkan kemudahan berbisnis di Indonesia baik itu investasi maupun kegiatan ekspor impor. Demi menarik cuan dari kantong para pemilik modal, sejumlah aturan dipangkas ataupun diubah.
Paling anyar, para pengambil kebijakan sepakat untuk menggeser pengawasan barang impor. Semula, barang impor tertentu yang masuk ke Indonesia harus melalui pemeriksaan ketat dari bea cukai. Kini, barang-barang tersebut dipastikan melenggang bebas dari kawasan pabean menuju gudang importir.
Per tanggal 1 Februari 2018, pemerintah membelah pengawasan barang impor menjadi dua yakni di kawasan pabean (border) dan setelah melalui kawasan pabean (post border). Sebanyak 2.642 HS Code masuk dalam kategori tata niaga post border. Saat ini, Indonesia memiliki 10.826 HS Code dengan jumlah komoditas larangan dan pembatasan atau lartas impor 5.299 HS Code. Artinya, sekitar 49,86% HS Code dari lartas impor mendapatkan lampu hijau tanpa melalui verifikasi. Mengikuti instruksi dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan meluncurkan setidaknya 19 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait dengan post border pada bulan Januari 2018.
Pemerintah mengklaim peraturan ini menjadi angin segar bagi pelaku bisnis. Sebab, proses pembebasan barang di kawasan pabean semakin cepat dan mudah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito bilang peraturan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan dan menghindari pemeriksaan berulang-ulang. Sedendang seirama, Menteri Perindustrian Airlangga Hartato mengamini kebijakan post border menguntungkan industri. Bahkan, kebijakan ini bisa menjadi stimulus pendongkrak ekspor lantaran industri bisa secara mudah memperoleh bahan baku impor.
Namun, suara sumbang malah muncul dari Gabungan Importir Nasional dari Seluruh Indonesia (GINSI). Sekretaris Jenderal GINSI Erwin Taufan menolak kebijakan post border sedari awal. Menurutnya, kebijakan ini malah menjadi beban baru bagi importir. Sebab, produk yang seharusnya bisa langsung beredar di pasar setelah melalui kawasan pabean harus mampir ke gudang importir. Penundaan barang ke pasar bisa jadi menambah ongkos bagi importir termasuk biaya sewa gudang.