Rencana program dana pensiun tambahan menuai penolakan. Realisasi program memberatkan rakyat dan mengurangi konsumsi.
Rencana program dana pensiun tambahan menuai penolakan dari berbagai pihak karena dianggap membebani masyarakat yang selama ini sudah menerima sejumlah potongan upah. Penerapan program wajib tersebut menunjukkan pemerintah tidak peka terhadap kondisi rakyat.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian mempertanyakan wacana tersebut. Sebab, jaminan pensiun yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (TK) yang selama ini sudah ada saja masih belum optimal.
Alih-alih memaksimalkan program yang sudah ada, pemerintah dinilai merepotkan masyarakat dengan program baru ini. Baginya langkah ini memiliki redundansi yang sama dengan memotong gaji pekerja, tapi hanya berbeda pengelola.
“Pemerintah sudah punya jaminan pensiun yang dikelola BPJS-TK, nah itu saja belum optimal, kok pemerintah malah memunculkan program baru yang bersifat wajib pula,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (12/9).
Program pensiun tambahan dengan memotong gaji pekerja ini berlandaskan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono sebelumnya mengatakan, tujuan dari peraturan tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masa tua. Berdasarkan data yang ada, manfaat pensiun yang diterima relatif kecil, yakni 10% hingga 15% dari penghasilan terakhir yang diterima pada saat aktif. Padahal, standar dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk dana pensiun yang ideal sebesar 40%.