Indonesia memang sedang dalam di situasi yang dilematis. Apabila harga BBM tidak naik, maka impor minyaknya berpotensi memukul rupiah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama Januari-Agustus 2018 neraca perdagangan defisit US$ 4,08 miliar. Defisit selama 2018 ini dibebani oleh defisit perdagangan migas US$ 8,35 miliar. Perlukah pemerintah menaikkan harga BBM guna menutup defisit neraca perdagangan?
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyampaikan, Indonesia memang sedang dalam di situasi yang dilematis. Apabila harga BBM tidak naik, maka impor minyak berpotensi memukul rupiah.
"Setiap impor butuh membeli dollar. Sebagai negara net importir minyak. Setiap hari lebih dari 800 ribu barrel minyak harus di impor untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri," jelas Bhima kepada Alinea.id.
Sementara lifting minyak terus anjlok. Indikasinya terlihat dari target pada 2019 yang hanya 750 ribu barel per hari, turun 50 ribu barel dibanding asumsi APBN 2018. Dampaknya impor migas membengkak, current account defisit (CAD) makin melebar dan mendekati 3% dari batas aman.
Dilihat dari sisi keuangan, kondisi itu juga berpotensi membahayakan Pertamina jika harga bbm ditahan terus. Sementara jika harga BBM jenis subsidi disesuaikan, berimbas ke daya beli masyarakat dan tidak populis.