Anggota DPR melihat peluang untuk menjadikan pariwisata domestik sebagai motor penggerak ekonomi nasional.
Ketegangan ekonomi global akibat kebijakan tarif proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mulai berdampak ke berbagai sektor di Indonesia. Salah satu yang terkena imbasnya adalah pariwisata. Namun di tengah tekanan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan lonjakan biaya perjalanan internasional, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Novita Hardini, melihat peluang strategis untuk menjadikan pariwisata domestik sebagai motor penggerak ekonomi nasional.
Novita menyatakan krisis nilai tukar akibat kebijakan perdagangan internasional seharusnya tidak hanya dianggap sebagai tantangan, tetapi juga sebagai momen transformasi. “Biaya perjalanan ke luar negeri melonjak. Ini saat yang tepat untuk mendorong pergeseran arus wisata ke destinasi lokal,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Senin (7/4).
Data Mastercard Economics Institute menunjukkan pada tahun 2022, rata-rata wisatawan Indonesia menghabiskan sekitar US$1.200 per perjalanan internasional. Dengan depresiasi rupiah yang terus berlanjut, angka tersebut diperkirakan akan meningkat signifikan di tahun-tahun mendatang. Bagi Novita, kondisi ini menjadi sinyal pemerintah perlu beralih dari paradigma “alternatif” menuju penguatan wisata lokal sebagai prioritas utama.
“Pariwisata dalam negeri bukan hanya jalan keluar sesaat, tapi bisa menjadi pilar jangka panjang untuk kemandirian ekonomi nasional. Kalau diarahkan dengan benar, sektor ini bisa menjadi tulang punggung baru,” jelas politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut.
Ia menekankan pentingnya kebijakan lintas sektor yang terintegrasi: mulai dari insentif fiskal untuk pelaku industri wisata, peningkatan infrastruktur transportasi, hingga promosi destinasi unggulan yang berkelanjutan dan inklusif. Menurut Novita, dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di kawasan wisata juga menjadi faktor penting untuk memastikan manfaat ekonomi tersebar merata.