Masuknya teknologi energi baru, seperti hilirisasi batu bara, bakal membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) tidak selaras dengan upaya mendorong transisi energi. Pun dengan target mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan, di dalam RUU EBT tidak hanya energi terbarukan yang dibahas, tetapi juga energi baru. Hal tersebut dinilai membuat tidak efektif dan rancu.
Masuknya produk turunan batu bara, seperti batu bara tergaskan (coal gasification), batu bara tercairkan (coal liquefaction), dan gas metana batu bara (coal bed methane) sebagai sumber energi baru berpotensi menghambat penurunan gas rumah kaca.
Dia menjelaskan, emisi gas rumah kaca dari proses gasifikasi batu bara jauh lebih tinggi tinggi dibandingkan energi terbarukan. Ini, menurutnya, menunjukkan ketidakpahaman DPR atas kebutuhan pengembangan energi dalam rangka transisi energi.
"DPR juga mengakomodasi kepentingan industri batu bara yang ingin tetap mendapatkan pasar di saat pasar batu bara untuk pembangkitan listrik turun," paparnya dalam keterangan resminya, Selasa (22/3).