Kenaikan tarif cukai yang kecil dan banyaknya golongan tarif cukai rokok, dinilai tak berdampak signifikan terhadap penurunan konsumsi.
Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat sekaligus Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menilai, langkah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 yang menaikkan rata-rata cukai rokok sebesar 10% untuk 2023 dan 2024 adalah langkah yang tidak efektif untuk menurunkan konsumsi rokok. Alasannya, keterjangkauan masyarakat untuk konsumsi rokok akan tetap tinggi sehingga prevalensi perokok, termasuk perokok anak akan tetap tinggi.
Menurutnya, meskipun dalam PMK terbaru, harga jual eceran (HJE) mengalami kenaikan, namun kenaikan tarif cukai yang kecil dan masih banyaknya golongan tarif cukai rokok, tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan konsumsi rokok.
“Saya berharap kenaikan cukai ke depannya lebih besar lagi agar harga rokok menjadi mahal dan bermakna untuk menekan konsumsi rokok, sehingga masyarakat akan mengalihkan belanja rokoknya untuk belanja produktif, seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan,” ungkap Hasbullah dalam konferensi pers “PMK CUkai Hasil Tembakau 2023: Untung dan Rugi”, Kamis (22/12).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyatakan, kenaikan cukai dan harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara. Nantinya, hasil penerimaan negara akan bisa digunakan untuk meningkatkan penegakan hukum terkait pemberantasan rokok ilegal.
Ia menilai, terdapat hal baik dari naiknya cukai dan harga rokok yaitu harga rokok termurah jadi meningkat paling tinggi, yakni Sigaret Kretek Tangan (SKT) 1 dan 3 serta selisih harga termahal dan termurah berkurang sehingga mengurangi gap harga.