PEPS berpendapat, penarikan utang untuk menambal defisit anggaran yang dilakukan pemerintah terkesan "ugal-ugalan".
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dianggap telah menghilangkan hak penganggaran DPR hingga 2021. Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 dan Perpres Nomor 72 Tahun 2020 menetapkan APBN 2020 dengan defisit anggaran hingga Rp1.039 triliun atau melebihi batas maksimum sebesar 3%.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengingatkan, pengelolaan APBN dan keuangan negara tanpa persetujuan DPR dapat memicu krisis fiskal, krisis ekonomi, dan melanggar peraturan perundang-undang. Apalagi, defisit anggaran tersebut rekor terbesar sejak Indonesia berdiri.
"Yang menjadi persoalan bukan kenaikan defisit anggaran yang fantastis ini. Yang menjadi persoalan adalah penarikan utang untuk menambal defisit anggaran tersebut yang terkesan 'ugal-ugalan'. Mohon maaf untuk kata 'ugal-ugalan' karena seyogyanya penarikan utang, yang juga disebut pembiayaan anggaran, hanya sebatas untuk membiayai defisit anggaran. Tidak boleh lebih,” ujarnya dalam surat terbuka kepada DPR, Jumat (25/12).
Defisit anggaran sebanyak Rp1.104,8 triliun tersebut, sambung dia, sudah ditambal dengan menarik utang. Namun, terjadi kelebihan pembiayaan anggaran atau sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) sebesar Rp221,1 triliun (25%) dari defisit anggaran. "Besar sekali."
"Pengelolaan APBN dan keuangan negara seperti ini sangat membahayakan perekonomian nasional," tegasnya.