Pemerintah diminta menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana menaikkan tarif PPN hingga 12%.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 memantik kritik dari berbagai kalangan. Langkah ini dianggap kurang tepat mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang sedang tertekan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Deflasi tersebut tercatat sebesar 0,03% pada Mei, 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% pada Agustus, dan 0,12% pada September.
Meski demikian, pemerintah bersikeras bahwa kenaikan tarif ini diperlukan untuk reformasi perpajakan dan peningkatan penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kenaikan PPN diharapkan mampu menyehatkan APBN.
"Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya. Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).
Pemerintah berdalih tarif PPN di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Namun, tarif PPN sebesar 12% tergolong besar untuk ukuran Asia Tenggara.