Orangtua tidak lagi punya waktu sekedar menemani anak ke toko mainan. Anak-anak lebih menyukai mainan versi digital.
Berbelanja secara online lewat sentuhan jari telah menggantikan cara berbelanja konvensional dengan berkunjung ke toko. Aktivitas yang padat dan waktu yang sempit membuat pilihan belanja online makin digemari. Dampaknya, bisnis konvensional pun terlibas, aktivitas di pusat perbelanjaan makin sepi.
Bagi perusahaan yang memiliki jaringan toko luas, kehadiran digital tentu melibas bisnis mereka. Satu persatu perusahaan yang mengandalkan jaringan luas tumbang, tidak terkecuali raksasa ritel mainan anak asal Amerika Serikat, Toys R Us.
Perusahaan yang memiliki 1.871 toko yang 245 tokonya berlisensi di 37 negara itu mengajukan dokumen pailit karena memiliki utang sebesar US$ 5 miliar dan sebagian harus dilunasi atau dibiayai kembali pada tahun 2018.
Toys R Us didirikan oleh Charles P. Lazarus pada tahun 1945 saat berusia 25 tahun. Mulanya, Lazarus membangun toko sepeda yang kemudian memproduksi berbagai furniture untuk anak. Produk furniture khusus anak disukai oleh orangtua pada tahun 1945 dan mendorong Lazarus menciptakan mainan anak-anak atas pesanan orangtua yang berbelanja di tokonya.
Lima tahun kemudian, Lazarus kemudian menciptakan supermarket khusus yang menyediakan mainan khusus anak-anak. Toko mainan yang identik dengan ikon jerapah ini booming pada tahun 1900 di mana orangtua selalu mencarikan hadiahnya di Toys R Us dan anak-anak selalu bersemangat dan bahagia saat berada di toko mainan tersebut.
Namun saat ini, kebahagiaan anak-anak untuk mendapatkan hadiah dari orangtuanya mulai terancam. Toys R Us tidak mampu bersaing dengan penjual daring atau e-commerce seperti: Amazon, eBay dan Alibaba.