Strategi window dressing perlu dijalankan dengan hati-hati untuk tetap menjaga kepercayaan investor terhadap perusahaan terbuka.
Tidak hanya manusia yang bersolek untuk mempercantik diri. Perusahaan-perusahaan terbuka di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia pun bisa melakukannya. Adalah window dressing, yang menjadi kesempatan bagi perusahaan atau manajer investasi memoles portofolio investasi dan laporan keuangan.
Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga Budi Kagramanto menyebut rekayasa laporan keuangan perusahaan sebagai Smoothing the Income. Praktik window dressing, kata dia, di satu sisi memang membuat kinerja perusahaan terlihat cemerlang. Namun di sisi lain, praktik ini juga bisa merugikan investor.
Praktik window dressing yang merugikan investor salah satunya terdapat pada kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 silam. Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta, mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), dan Budhi Istanto Suwito, mantan Direktur AISA telah melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan tahun 2017. Imbasnya, laporan keuangan konsolidasi AISA tampak menarik.
Bagusnya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal tertarik untuk membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp2.360 per lembar pada 2017. Namun, kinerja tersebut hanya di atas kertas. Sebab, fundamental AISA sebenarnya sangat bertolak belakang dengan laporan keuangan.
Kejanggalan mulai terendus ketika AISA mengalami gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan posisi kas dan setara kas perusahaan per tanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018.