Tidak ada jalan keluar yang nyata di Gaza, yang telah berada di bawah blokade 16 tahun yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir.
Lebih dari 180.000 warga Palestina di Jalur Gaza berkumpul di tempat penampungan PBB ketika pesawat tempur Israel menggempur wilayah kecil berpenduduk 2,3 juta orang, setelah Hamas melancarkan serangan akhir pekan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel.
Di antara mereka adalah Sabreen al-Attar, 27 tahun. Dia langsung beraksi ketika mendengar roket demi roket meluncur di atas lahan pertaniannya di Beit Lahiya, tepat di selatan perbatasan Israel pada Sabtu (7/10). Dia tahu dari pengalaman, bahwa pembalasan Israel akan cepat dan parah.
Sambil menggendong anak-anaknya, al-Attar bergegas ke salah satu dari puluhan tempat penampungan yang didirikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina di Kota Gaza. Di sana, ledakan dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya menandai kondisi yang terus menurun pada Senin (9/10) karena makanan dan air habis.
“Saat saya melarikan diri, saya melakukannya demi anak-anak saya,” katanya, tangannya gemetar. “Hidup mereka ada di pundak saya.”
Namun warga mengatakan, tidak ada jalan keluar yang nyata di Gaza, yang telah berada di bawah blokade 16 tahun yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir. Ketika perang pecah, seperti yang terjadi empat kali sejak kelompok Hamas merebut kekuasaan pada 2007, bahkan fasilitas PBB yang seharusnya menjadi zona aman pun berisiko dilanda pertempuran.