Erdogan telah berhasil mempertahankan kebijakan luar negeri multivektor, untuk memiliki hubungan yang konstruktif dengan Rusia.
Setelah mengamankan mandat baru yang kuat dalam pemilihan presiden putaran kedua, Recep Tayyip Erdogan dari Turki, diyakini dapat meredam beberapa posisi yang telah mengganggu sekutu NATO-nya. Tetapi para pengamat meramalkan, pemimpin negara itu tidak mungkin menyimpang dari kebijakannya untuk terlibat dalam masalah antara Rusia dan Barat.
Erdogan memenangkan pemilihan kembali pada Minggu dengan lebih dari 52% suara, memperpanjang pemerintahannya yang semakin otoriter hingga dekade ketiga. Dia sekarang harus menghadapi inflasi yang meroket dan telah memicu krisis biaya hidup dan membangun kembali setelah gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 50.000 orang dan meratakan seluruh kota.
Setelah gagal mengamankan kemenangan langsung pada putaran pertama pemungutan suara pada 14 Mei, Erdogan mengalahkan penantang oposisi, Kemal Kilicdaroglu, yang telah berjanji untuk menempatkan Turki di jalur yang lebih demokratis dan memperbaiki hubungan dengan Barat.
Erdogan dikenal sebagai seorang populis dan orator ulung yang mengubah kepresidenan Turki dari peran seremonial menjadi jabatan yang kuat. Erdogan menang karena dukungan pemilih konservatif. Mereka tetap mengabdi padanya karena mengangkat profil Islam di Turki, yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip sekuler, dan meningkatkan pengaruh negara itu dalam politik internasional sambil memetakan jalur independen.
Menjelang pemilihan, Erdogan menunda menyetujui masuknya Swedia ke dalam aliansi NATO-bagian dari upaya Barat untuk mengisolasi Moskow setelah invasi ke Ukraina. Erdogan menuduh Swedia terlalu lunak terhadap kelompok-kelompok yang dianggap Ankara sebagai teroris, dan serangkaian protes pembakaran Al-Qur'an di Stockholm membuat marah basis dukungan agamanya membuat sikap kerasnya semakin populer.