“Kami telah hidup di bawah ilusi sebuah negara selama 30 tahun,” kata Mohammad.
Sudah hampir dua bulan sejak putra sulung Najlaa Dmaidi, Labib yang berusia 19 tahun, ditembak mati oleh pemukim Israel. Namun bagi ibu berusia 42 tahun itu, waktu seolah berhenti. Dia menundukkan kepalanya dan matanya terpaku ke tanah dalam kesedihan atas kematian putranya.
“Dia berulang tahun ke-19 pada tanggal 21 Juli. Ulang tahunnya di hari yang sama dengan keluarnya hasil ujian matrikulasi SMA adiknya,” ujarnya dengan suara teredam.
Duduk di ruang tamu rumahnya di kota Huwara, Palestina, di selatan kota Nablus, Najlaa berkata: “Itu terakhir kali kami merayakannya bersama.”
Huwara dikelilingi oleh empat permukiman ilegal Israel dan pos-pos pemukim, pos pemeriksaan dan pangkalan militer yang tak terhitung jumlahnya. Kota ini telah mengalami serangan hebat dari pemukim dan pembatasan pergerakan yang diberlakukan oleh tentara Israel selama lebih dari satu setengah tahun.
“Labib akan selalu menghidupkan rumah. Dia suka bercanda, bermain, dia mencintai kehidupan, dia juga mencintai tanah airnya,” kata Najlaa sambil memainkan jari-jarinya.