Pada dekade 1960-an, pentolan komunis Filipina Jose Maria Sison sempat belajar di Indonesia dan berteman dengan kader-kader PKI.
Jauh sebelum mengorganisasi aksi-aksi protes mahasiswa di University of the Philippines (UP) pada dekade 1960-an, Jose Maria Sison atau yang akrab disapa Joma sudah diyakini bakal jadi "orang besar". Sebagai bocah dari keluarga kaya, hidup Joma sudah diatur oleh orang tuanya.
Ayah Joma, seorang tuan tanah di Cabugao, Ilocos Sur, Filipina, punya gambaran mengenai masa depan sang bocah: Joma bakal belajar jurnalisme, masuk ke sekolah hukum, berangkat ke Harvard untuk studi S-2, pulang dan menikahi gadis dari keluarga kaya, dan masuk ke dunia politik.
Joma, sebagaimana prediksi sang ayah, bakal jadi trapo. Itu sebutan bagi politikus pragmatis yang pandai beradaptasi dengan realitas dan situasi politik di Filipina yang sulit ditebak. Jika beruntung, Joma mungkin saja bisa jadi orang nomor 1 di negeri itu.
Namun, nasib berkata lain. Lahir pada 8 Februari 1939, Joma ternyata adalah seorang pemberontak sejak kecil. Pada usia 12 tahun, ketika bersekolah di Jesuit Ateneo de Manila di Manila, Joma bahkan memimpin rekan-rekannya untuk protes terhadap aturan guru-guru Jesuit.
"Meskipun menyandang status sebagai murid kehormatan, Joma dikeluarkan dari sekolah itu pada tahun kedua," tulis Ninotchka Rosca dalam Jose Maria Sison: At Home in the World—Portrait of a Revolutionary yang terbit pada 2004.