Aseel Mousa menceritakan pengalamannya berjuang dari waktu ke waktu di tengah gempuran Israel dan listrik serta internet yang diputus.
Israel tanpa ampun terus membombardir Gaza. Tidak peduli sudah 8.000 orang tewas di daerah pendudukan itu dengan dalih balas dendam setelah serangan Hamas ke Israel yang menewaskan 1.400 orang itu.
Selain membombardir dari udara, Israel juga memutus akses warga terhadap kebutuhan dasarnya. Mereka memutus suplai air, listrik, obat-obatan, makanan dan juga internet.
Hal terakhir ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Israel sengaja memutus jaringan internet agar lebih leluasa melakukan serangan tanpa pengawasan. Sebab, tidak ada informasi yang bisa dibagikan dari Gaza ke dunia luar.
Jurnalis Aljazeera yang tinggal di Gaza, Aseel Mousa menceritakan pengalamannya berjuang dari waktu ke waktu di tengah gempuran Israel dan listrik serta internet yang mati.
Aseel Mousa berkisah: Saat itu sekitar pukul enam sore pada hari Jumat lalu ketika seluruh Gaza kehilangan kontak dengan dunia luar dan satu sama lain di wilayah kantong yang terkepung.
Keluarga saya, bersama keluarga paman saya, dikumpulkan di satu ruangan di rumahnya di kamp Maghazi. Kami telah meninggalkan rumah kami di bagian barat dan pindah ke Gaza selatan sesuai perintah Israel. Israel, tentu saja, mengklaim bahwa perintahnya agar kami pergi adalah demi keselamatan kami, namun sebagai orang yang selamat dari agresi biadabnya di Gaza, saya dapat memberitahu Anda bahwa kepura-puraan relatif aman di Gaza selatan hanyalah sebuah mitos.
Alasan kami berkumpul dalam satu ruangan sederhana saja: jika kami menjadi sasaran pengeboman dan, amit-amit, kami kehilangan nyawa, kami melakukannya bersama-sama. Tak satu pun dari kita ingin orang lain menanggung rasa sakit kesedihan sendirian.