Apakah konsumen tahu bahwa mereka membeli hewan yang berada di ambang kepunahan? Sulit untuk memahaminya.
Di tengah hiruk-pikuk lanskap kuliner Asia Tenggara, di sela keriuhan pasar makanan laut di mana aroma hidangan eksotis memenuhi udara, investigasi rahasia tentang dunia perdagangan sirip hiu malah mengungkap hal yang mengejutkan.
Telah lama dimitoskan sebagai makanan lezat, sirip hiu menjadi bagian dari budaya perayaan dan tonik kesehatan di banyak kawasan Asia, seperti Singapura. Ini negara-kota dan kepulauan berdaulat di Asia Tenggara, terletak di ujung selatan Semenanjung Malaya, tepat di utara garis khatulistiwa. Singapura memainkan peran penting dalam jaringan rumit perdagangan sirip hiu.
Di Negeri Singa, siripnya sering kali diekspor dalam bentuk kering dan dipasarkan menggunakan istilah umum seperti "sirip hiu" atau "makanan laut kering", alih-alih menyebutkan spesies asalnya. Kurangnya ciri khas dalam pelabelan menciptakan tantangan dalam menegakkan dan memantau perdagangan ini, karena dapat bersifat ambigu atau sengaja dibuat tidak jelas. Hal ini merupakan masalah besar, karena dua pertiga hiu yang di perdagangan sirip global terancam punah atau berasal dari spesies yang mengalami penurunan populasi.
Meskipun kesadaran akan perlunya konservasi hiu semakin meningkat, konsumsi produk sirip hiu masih merajalela di Asia, sehingga berkontribusi terhadap industri yang menghasilkan nilai sebesar US$1 miliar. Tingkat pertumbuhan yang lamban, kematangan seksual yang terlambat, dan rendahnya hasil reproduksi hiu menjadikan mereka rentan terhadap penangkapan ikan berlebihan, yang mengganggu seluruh ekosistem laut dan memicu kaskade trofik.
Dipimpin oleh ilmuwan YALE-NUS College, Kai-Lin Selena Shen, tim internasional mengumpulkan 505 sampel sirip hiu dari 25 toko makanan laut lokal dan Obat Tradisional Tiongkok yang berbeda di seluruh Singapura.