Jakarta bisa bernasib seperti Rio de Janeiro jika ibu kota negara jadi pindah ke Kalimantan.
Komponis Antonio Carlos Jobim dan pujangga Vinícius de Moraes tengah nongkrong di Veloso Bar di kawasan Ipanema, Rio de Janeiro, Brasil, saat gadis bermata hijau emerald itu lewat. Dara berusia 18 tahun itu semampai. Kulitnya kecokelatan karena terbakar matahari dan rambutnya hitam bergelombang.
Nama gadis remaja itu Heloisa Eneida Menezes Pais Pinto. Dia warga asli Ipanema. Helo, panggilan akrab Heloisa, konon salah satu gadis tercantik di kawasan pantai itu. Pada suatu hari di musim panas tahun 1962 itu, Helo kemungkinan baru pulang dari sekolahnya saat tak sengaja "berpapasan" dengan Jobim dan Moraes.
Menyaksikan kecantikan Helo, kedua pria beristri itu langsung "jatuh cinta" lagi. Alkisah, keduanya langsung bikin lagu terinspirasi kemolekan sang dara. Pada selembar tisu, Moraes menulis lirik untuk lagu tersebut.
"Dia (Helo) adalah paradigma dari carioca (warga asli Rio) muda: gadis remaja emas, sebuah kombinasi bunga dan putri duyung, penuh dengan cahaya dan keindahan," tulis Moraes dalam Revelação: a verdadeira Garota de Ipanema.
Lagu itu kelak dinamai "Garotta de Ipanema" atau "Girl from Ipanema". Saat dinyanyikan penyanyi Astrud Gilberto pada 1963, lagu itu "meledak". Lagu itu kian tenar setelah dinyanyikan ulang oleh legenda musik jazz dunia Frank Sinatra beberapa tahun berikutnya. Ketika itu, kepopuleran "Girl From Ipanema" bahkan mampu menyaingi tembang "Yesterday" milik the Beatles.