Meningginya tensi dua negara adidaya AS dan China di sektor ekonomi, nyatanya berimbas di kehidupan sehari-hari, termasuk sentimen rasial.
Meningginya tensi dua negara adidaya Amerika Serikat (AS) dan China di sektor ekonomi, nyatanya berimbas di kehidupan sehari-hari, termasuk gejala meluasnya sentimen rasial. Kendati tak signifikan, namun hal ini tak urung menjadi bara api yang sukar padam dalam relasi dua negara. Apalagi didukung pandangan personal Trump yang oleh Vladimir Putin disebut dengan eksepsionalisme (merasa lebih tinggi dari yang lainnya).
Presiden petahana Rusia itu dalam artikel New York Times, memang secara eksplisit menuding Trump telah mengobarkan potensi konflik yang besar. Padahal menurut Putin, sudah kodrati manusia diciptakan dengan pelbagai perbedaan, tapi kedudukan mereka tetap sederajat. Salah, lanjutnya, jika Trump berusaha memunculkan paham yang lekat dengan primordialisme ala fasisme NAZI ini.
Eksepsionalisme Trump yang sarat dengan mimpi orang-orang Republik sendiri, pada akhirnya menyuburkan sentimen rasial di Paman Sam. Meski tak berakar dari perang ekonomi AS-China, namun mantan diplomat India sekaligus kolumnis Asia Times M. K. Bhadrakumar menyatakan, keduanya saling berkelindan.
AS tak hanya ingin digdaya di bidang ekonomi, tapi juga di sektor lain termasuk di pertahanan militer dan hegemoni pengaruh (politik) di negara-negara lain termasuk di Asia. Untuk mencapai visinya, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan Trump menggunakan strategi lawas, mempertentangkan kalangan bawah dan atas, serta "menjual" persoalan kesenjangan.
Selanjutnya, mencoba mereproduksi rasa takut dengan menjadikan ancaman asing sebagai musuh bersama. Donald Trump dalam kampanyenya kerap mengkambinghitamkan China sebagai musuh yang harus diwaspadai dan upaya ini berhasil. Tak hanya China, Trump juga menebar gagasan terorisme adalah musuh terberat, sehingga intervensi militer dimafhumkan apabila sudah menyangkut isu ini.