Wamenlu Mahendra Siregar menegaskan bahwa Indonesia hanya akan menerima perlakuan adil atas isu minyak sawit.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menegaskan Indonesia tidak bisa menerima kebijakan energi Uni Eropa (UE) yang menuding biofuel dari minyak kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi. Dia menyebut itu diskriminatif.
Mahendra menganggap kebijakan Renewable Energy Directive (RED II) dan Derivative Act yang dirilis oleh EU sebagai tantangan besar yang akan mencegah pengembangan hubungan yang lebih produktif dan konstruktif antara Indonesia dan UE.
"Sementara fokus kebijakan energi terbarukan UE hanya terbatas pada deforestasi, sebenarnya kerusakan lingkungan yang disebabkan minyak nabati di Eropa lebih jauh dari itu," kata Mahendra saat membuka 'Dialog Kebijakan tentang Bioenergi Strategis Indonesia dan Swedia' di Jakarta, Rabu (11/3).
Mengutip hasil penelitian Dr. Erich E Dumelin dari University of California, Wamenlu mengatakan bahwa produktivitas minyak kelapa sawit berkisar 4-9 kali lipat dari minyak nabati lainnya.
Selain itu, kelapa sawit hanya membutuhkan 19 kilogram pupuk nitrogen untuk menghasilkan 1 ton minyak, sedangkan minyak nabati lain, misalnya canola (rapeseed) memerlukan hingga 183 kilogram pupuk yang sama untuk menghasilkan 1 ton minyak.