Le Pen menyebut jilbab Muslim sebagai "seragam Islamis" dan mengusulkan larangan memakainya di depan umum.
Tidak ada lagi jilbab muslim di depan umum. Semua anak sekolah berseragam. Undang-undang diusulkan dan disahkan melalui referendum. Layanan sosial yang murah hati tidak tersedia untuk orang asing, kecuali mereka telah memiliki pekerjaan selama lima tahun.
Itu hanya contoh visi Marine Le Pen untuk Prancis, jika pemimpin sayap kanan memenangkan pemilihan presiden putaran kedua Minggu (24/4) waktu setempat, melawan petahana Emmanuel Macron. Pokoknya Le Pen menyebutkan, dalam segala hal, Prancis, dan Prancis, akan didahulukan.
Jajak pendapat menggambarkan Macron sebagai yang terdepan dalam pemungutan suara hari Minggu, tetapi kemenangan Le Pen bisa saja terjadi. Kalau itu benar, maka pastinya menjadi sebuah hasil yang dapat mengguncang sistem pemerintahan Prancis, menimbulkan ketakutan di antara para imigran dan muslim, menyentak dinamika 27 negara Uni Eropa, dan membuat sekutu NATO bingung.
Macron, 44, seorang sentris yang sangat pro-Uni Eropa, telah tanpa henti mengecam musuhnya sebagai bahaya dan membingkai pertarungan pemilihan mereka sebagai pertempuran ideologis untuk bangsa. Sedangkan Le Pen, 53, memandang Macron sebagai teknokrat progresif yang bagi Prancis hanyalah "wilayah" UE.
Le Pen mengatakan, akan memperlengkapi kembali sistem politik negara dan konstitusi Prancis untuk mengakomodasi agenda populisnya, menempatkan UE di tempat kedua dan membuat Prancis lebih benar pada prinsip-prinsip dasarnya.