Ada beberapa riset yang mengungkap mengapa seseorang melakukan tindak kekerasan politik.
Calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, menghentikan pidatonya soal imigrasi ilegal, saat peluru menyasar telinga kanannya, di depan pendukungnya di Pennsylvania, beberapa waktu lalu. Suara tembakan beberapa kali terdengar.
Tak lama, pelaku penembakan dilaporkan tewas dalam baku tembak dengan pasukan pengamanan Presiden Amerika Serikat, Secret Service. Seorang pendukung Trump dilaporkan tewas karena insiden itu. Federal Bureau of Investigation (FBI) menjelaskan, penembak itu bernama Thomas Matthew Crooks, 20 tahun. Ia tinggal sekitar 35 mil dari lokasi penembakan.
Ada beberapa penelitian yang mengungkap motivasi seseorang yang berkontribusi terhadap kekerasan politik. Dalam penelitian yang diterbitkan jurnal Psychology of Violence (2024), para peneliti menemukan, persepsi pribadi tentang keyakinan menjadi korban bisa secara signifikan memengaruhi sikap terhadap tindakan kekerasan politik.
Riset itu dilakukan lewat tiga penelitian berbeda. Pertama, melakukan survei terhadap 393 peserta dari Amazon’s Mechanical Turk. Mereka menemukan korelasi antara sifat korban dan dukungan terhadap kekerasan politik.
Sampel diperluas pada penelitian kedua, menjadi 1.000 peserta yang direkrut melalui lembaga riset YouGov, dengan mengonfirmasi temuan sebelumnya sekaligus memeriksa korban persaingan antarkelompok. Para peneliti menemukan, sifat korban secara langsung terkait dengan dukungan terhadap kekerasan politik dan secara tak langsung lewat sifat kompetitif korban, meski tak berkorelasi dengan tindakan politik tanpa kekerasan.