Andai Dian Sastro dan Nicholas tak bisa berperan baik sebagai sepasang sahabat, film ini mungkin berakhir sebagai proyek ekranisasi biasa.
Saya pasti akan dibenci oleh kalangan movie snoob yang memuji habis-habisan film ini. Minimal dituduh tak mendukung aktor dan aktris nasional oleh mereka yang mengagumi pasangan Dian Sastro atau Nicholas Saputra. Saya tak bilang film ini jelek, tapi ada banyak celah yang membuat saya keluar bioskop dengan wajah sedikit kusut.
Mulanya adalah ekspektasi yang biasa saja. Sebagai pembaca novel Laksmi Pamuntjak dengan judul serupa, saya menyadari, film ini akan rentan terjebak dalam proyek ambisius, saat harus menggabungkan banyak tema sekaligus: investigasi flu burung, food porn, dan gula-gula asmara. Hal yang menyelamatkan sutradara Edwin adalah chemistry yang apik, terjalin dari para pemainnya, serta kelihaian pembuat film "Posesif" itu menyajikan hidangan Nusantara dengan sangat manis.
Edwin sendiri tampaknya memang begitu hati-hati dalam proyek ekranisasi ini. Namun, seperti kegalauan Laksmi yang ingin memberi porsi seimbang antara ide kuliner dan percintaan, Edwin kembali melakukan hal senada. Saya pun dibuat bingung mana yang mau ditonjolkan, ini drama percintaan, nilai kehidupan, investigasi, atau senarai kuliner belaka?
Ya, Edwin boleh saja berikhtiar menggabungkan tema-tema itu dalam satu kemasan. Namun, kalau boleh berpendapat, film ini mungkin lebih baik jika menonjolkan sisi kulinernya saja. Sebab, saya sendiri percaya, selain musik, makanan adalah bahasa paling universal.
Lagi-lagi saya harus bilang, film ini tidak jelek, tapi juga tak terlampau menggembirakan. Dari segi penggarapan teknis, Edwin cukup berani menggunakan teknik yang paling saya gemari dalam film. "Aruna dan Lidahnya" disuguhkan dengan teknik breaking the fourth wall. Itu loh, seperti yang dipakai dalam film "Deadpool" atau "Amelie", gadis Perancis yang sederhana tapi kompleks. Si tokoh utama bisa membacakan narasi bahkan 'ngobrol' langsung dengan penonton dengan menatap kamera. Seperti namanya, teknik ini terbukti merobohkan dinding antara penonton, tokoh, dan cerita yang ingin disampaikan. Menurut saya, teknik ini berhasil diterapkan dalam film yang dibuat Studio Palari tersebut.