Perilaku love bombing akan memberikan perhatian dan kasih sayang berlimpah namun berujung manipulasi.
Pernahkah kamu merasakan sensasi menjadi pusat perhatian yang luar biasa dari pasanganmu? Diapresiasi secara berlebihan atas hal-hal kecil yang kamu lakukan? Diberi hadiah-hadiah yang berlimpah meskipun tidak sedang merayakan momen spesial? Sering kali, ketika mengalami hal-hal ini, seseorang merasa disayangi dengan sangat intens. Namun, hati-hati, bisa jadi kamu sedang menjadi sasaran dari apa yang disebut sebagai "Love Bombing."
Love bombing adalah pola perilaku yang memberikan perhatian, kasih sayang, pujian, dan tindakan romantis yang berlebihan pada seseorang dalam hubungan. Meskipun pada awalnya tampaknya sebagai sesuatu yang positif, love bombing sebenarnya bisa menjadi bentuk manipulasi yang dilakukan oleh seseorang dengan motif tertentu, seperti sosiopat, narsistik, atau manipulator.
Pada dasarnya, tujuan dari love bombing adalah untuk mengendalikan dan memanipulasi korban agar terikat pada hubungan tersebut. Pelaku love bombing cenderung menggunakan perilaku ini untuk mengaburkan batas-batas individu, membuat korban merasa tergantung, dan sering kali membuat mereka sulit untuk mengidentifikasi tanda-tanda kecurigaan atau bahkan kekerasan yang mungkin ada dalam hubungan tersebut.
Salah satu aspek yang membuatnya berbahaya adalah bahwa korban acap kali tidak menyadari adanya manipulasi ini. Mereka merasa nyaman dengan perhatian yang berlebihan dan sering kali terjebak dalam hubungan yang sebenarnya tidak sehat. Orang yang melakukan love bombing biasanya memiliki motivasi tertentu, seperti keinginan untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau mencapai kepuasan pribadi. Mereka menggunakan taktik ini untuk mencapai tujuan tersebut.
Studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa love bombing dapat menciptakan ketergantungan emosional. Pasangan yang menerima perlakuan ini bisa merasa sangat terikat secara emosional pada pelaku, dan pada akhirnya mempengaruhi kesehatan mental mereka. Ketergantungan semacam ini dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan keraguan terhadap diri sendiri.