Di balik kesannya yang glamor, industri perfilman menyimpan beragam persoalan.
Beberapa waktu lalu, sejumlah sutradara dan pemain film nasional ramai-ramai mengunggah tuntutan di media sosial soal pembenahan sistem kerja di dunia perfilman. Tiga poin yang dituntut, antara lain jam kerja sehat agar semua kru film dapat menjaga kesehatan dan keselamatannya, jarak aman 12 jam yang mengacu pada minimnya istirahat kru untuk kembali ke lokasi syuting, dan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap pekerja film.
Ada harapan pula terbentuknya serikat pekerja film berbadan hukum, seperti Screen Actors Guild–American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) di Hollywood. Aksi ini merupakan imbas dari kematian seorang kru film, Rifki Novara. Dia meninggal dunia usai mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari lokasi syuting, diduga karena kelelahan akibat jam kerja yang panjang.
Situasi pekerja film di luar negeri serupa dengan di Indonesia. Banyak orang membayangkan, bekerja di industri film sebagai sesuatu yang glamor. Padahal, lokasi syuting lebih mirip proyek konstruksi yang berbahaya dan kacau, dengan orang-orang yang bekerja tanpa istirahat yang cukup.
Proyek produksi film sering kali hanya berlangsung selama beberapa bulan. Secara teoretis memberikan waktu libur bagi para pekerja setelah produksi selesai, tetapi memaksa orang-orang untuk bekerja hingga batas kemampuan mereka selama masa kontrak dapat menjadi hal yang menghancurkan.
Dikutip dari the Guardian, tahun 2023 survei yang dilakukan Bectu dan Mark Milsome Foundation mengungkapkan, hampir tiga perempat dari 733 responden yang bekerja sebagai kru film dan televisi di Inggris merasa keselamatan mereka atau rekan kerjanya terancam di tempat kerja.