Bagaimana sejarah pedagogi anak-anak China di Indonesia sejak era kolonialisme Belanda?
Etnis China di Indonesia kerap dipandang sebagai kelompok yang berada di luar lingkaran masyarakat pada umumnya. Mereka disebut sebagai keturunan perantauan yang datang dari negeri Tirai Bambu, dan bukan penduduk asli.
Antropolog Universitas Indonesia Puspa Vasanty menyatakan, pada umumnya masyarakat kita membagi etnis China menjadi dua golongan, China totok (tulen) dan China peranakan. Penggolongan ini tak hanya dipandang dari garis keturunan belaka, melainkan derajat akulturasi dari para perantau terhadap kebudayaan lokal. Menurutnya, ini bergantung pada perkawinan campuran yang terjadi antara etnis China dan orang di luar kelompok mereka, yang kebetulan bermukim di Indonesia.
Gelombang arus kedatangan bangsa China ke Indonesia sendiri, menurut Puspa telah berlangsung sejak abad ke-16 sampai dengan ke-20. Gelombang pertama menyertakan sedikit perempuan, sehingga terjadilah perkawinan campuran antara pria China dan warga setempat. Dari hasil perkawinan itu lahirlah kalangan China peranakan.
“Orang Tionghoa peranakan yang dalam banyak hal kehidupannya telah menyerupai orang Jawa. Sebagian besar telah lupa akan bahasa asalnya. Bahkan, dalam ciri-cirinya fisiknya seringkali sudah menyerupai orang Indonesia,” tulis Puspa, dalam bunga rampai "Manusia dan Kebudayaan di Indonesia".
Namun, dalam perjalanannya, pemisahan kedua golongan itu amat dipengaruhi model pendidikan yang mereka enyam pada masa kolonial. Sebelum memasuki abad ke-19, pendidikan bagi anak-anak China belum menjadi perhatian pemerintah kolonial. Dalam UU Tahun 1854 tentang pemisahan ras, pemerintah Belanda cenderung mengatur pendidikan bagi anak-anak Jawa, khususnya golongan pangreh praja alias keluarga kerajaan.