Sosial dan Gaya Hidup

Dari surau ke sekolah, cikal bakal pesantren kekinian

Pesantren yang eksis saat ini menyerap dua sistem pendidikan yang dipadukan dari golongan tua dan muda. Surau jadi simbol pendidikannya.

Minggu, 27 Mei 2018 15:37

Surau digadang-gadang menjadi wadah pendidikan tradisional yang lebih mengedepankan norma adat, etika, dan moral. Dalam tradisi Minangkabau, anak laki-laki yang sudah baligh dilarang tinggal di Rumah Gadang (Dobbin 199: 142). Konsekuensinya, surau menjadi tempat berkumpulnya para pemuda dan remaja di Tanah Minang, yang ingin tinggal seraya mempelajari ilmu agama. Lantaran inilah, surau kemudian berkembang menjadi potret bangunan kebudayaan, yang telah melengkapi hidup manusia di dalamnya.

Menurut Karel A. Steenbrink, surau merupakan kelanjutan alam pikiran lama yang masih eksis hingga saat ini. “Surau berasal dari India, sebelum datangnya islam dulunya digunakan sebagai tempat pengajaran agama Hindu-Budha” (Steenbrink, 1994: 20-21).

Sejak aliran tarekat besar seperti Nasabandiyah, Satariyah, dan Qodariyah berkembang di Minangkabau pada abad ke-18, surau berubah peran menjadi tempat pendidikan bagi para calon mubalig Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Seperti halnya yang dijelaskan Christine Dobbin dalam bukunya bertajuk “Kebangkitan Islam yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah (1784-1847)”. Pendidikan tradisional yang menggunakan sistem halagah (pengajian) ini, awalnya tidak mengenal sistem pembagian kelas seperti di lembaga pendidikan pada umumnya.

Surau mengalami transformasi menjadi sekolah atau madrasah pada awal abad ke-20, sejak hadirnya para kaum intelektual muda islam, yang kala itu baru pulang menimba ilmu dari Mekkah dan Madinah. Alhasil, mereka yang telah mengenyam pendidikan Islam ala Timur Tengah tersebut, mengadopsinya ke dalam sistem pendidikan tradisional di Minangkabau.

Namun jika ingin membahas perkembangan pendidikan islam di Minangkabau, naif rasanya jika menyampingkan peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang dikenal sebagai guru yang telah banyak melahirkan ulama progressif di Indonesia.

Kudus Purnomo Wahidin Reporter
Purnama Ayu Rizky Editor

Tag Terkait

Berita Terkait